Google+

Para Putra Wang Bang menyebar di Bangli

Para Putra Wang Bang menyebar di Bangli

Diceritakan sekarang para putra raja Baleagung yang tidak wafat, ada yang mengungsi ke jagat Karangasem di Sindhu bernama I Gusti Dauh, disertai oleh Pendeta Manuaba, membawa pusaka I Loting serta pariagem (prasasti). Di sana disambut oleh I Gusti Sidemen. Putra I Gusti Tumenggung bertempat di Pekandelan Baleagung Bangli, di selatan Dalem Bujangga, turun wangsa setelah mengawini perempuan asal Pasek Bendesa menjadi watek Dangin. Serta ada yang berpindah membawa ayam menuju Manikliyu dihaturkan kepada Sanghyang Surya menyembah dengan ancak-ancak ayam, tetapi Dalem Bujangga masih diingat, karena itu di sana ada Pura Ancak.

Keturunan I Gusti Caling Lingker teguh memegang wangsanya tinggal di Bale Agung, memelihara Pura Dalem Bujangga
Putra I Gusti Batan Waringin, ada dua orang:

  1. menjadi pengemong di arca
  2. I Gusti Ngurah Kancing Masuwi, mengungsi menuju sungai Melangit naik ke desa Tambaan tempat kediaman leluhurnya Ida Bang Wayabiya melakukan yoga dahulu. Seterusnya menjadi Arya Bang Tambaan.

Keturunan I Gusti Dangin Pasar, yang pertama:

  1. I Gusti Ngurah Lukluk,
  2. I Gusti Ngurah Demang diam-diam pergi ke daerah Petak. 
  3. I Gusti Demung pergi diam-diam di sebelah barat Bebalang, di desa pulung

Keturunan I Gusti Praupan bernama:

  • I Gusti Wayahan, pergi diam-diam ke hutan Belancan, Kintamani, membawa pusaka berang serta kawitan. Disertai dengan setia oleh rakyatnya I Pasek serta I Bendesa. Lama beliau itu di Plancan Bonyoh, membuat tempat suci bernama Pura Anggarkasih
  • I Gusti Ngurah Anom Tengen, pergi diam-diam ke Bebalang
  • I Gusti ayu Alit. 
  • I Gusti Gede Raka Oka, pergi berdiam di Alas Tugak, disertai oleh pengikutnya I Pasek Bendesa.

Dikisahkan sekarang I Gusti Ngurah Gde Raka Oka, sewaktu pulang dari hutan Tugak, disertai oleh I Pasek Bendesa Paling Wayah, berpindah dari hutan itu kemudian menuju kawasan Bebalang. I Gde Pasek Bandesa mengungsi ke hutan Bebengan Saga. Ada keinginan I Pasek menelusuri sanak saudaranya yang pindah melewati Sungai Sangsang, dan pembantunya didengar berada di barat daya membuat tempat tinggal, pemukiman itu dinamai soroh Kahadan.

Belakangan I Gusti Ngurah Anom Tengen berpindah dari Bebalang, melewati Sungai Sangsang, kemudian berdiam di Serokadan membawa pajenengan – pusaka Tulup, diikuti hamba sahaya sebanyak 21 orang, membangun Pamerajan, mensthanakan leleluhur beliau Ida Bang Manik Angkeran, disungsung oleh para putra di kemudian hari. Itu antara lain keturunan Ki Arya Dawuh Bale Agung. Dan semuanya itu merupakan keturunan warga Arya Wang Bang, yang masurya kepada pendeta Ida Rsi Bujangga Dawuh Bale Agung Panulisan.

Dikisahkan sekarang, setelah kalah Raja Singharsa Bangli di Puri Baleagung, sekarang ada penggantinya bernama I Dewa Perasi, beristana di Puri hutan Soka, dinamai Puri Soka, serta Puri Timbul
I Dewa Pindi di Gaga, Taman Bali, banyak para anggota keluarga dari penawing serta bala mantri bertempat tinggal masing-masing di Bangli. Setelah itu bulatlah kawasan Bangli itu, sewaktu pemerintahan I Dewa Perasi.

Diceritakan juga Raja Bangli sangat bijaksana dalam memerintah. Sangat sayang Raja Bangli itu kepada para putra Ki Arya dahulu, semuanya dijadikan patih Raja Bangli di tempat tinggalnya masing-masing.

  • I Gusti Ngurah Kancing Masuwi menjabat di di desa Tambaan. Menjadi patih beliau di sana. 
  • I Gusti Demang menjadi patih di bagian timur yakni di Petak, 
  • I Gusti Demung di Pulung, 
  • I Gusti Ngurah Gede Raka Oka di Bebalang, 
  • I Gusti Caling Lingker di Baleagung, 
  • I Gusti Dawuh Panulisan di Baleagung, 
  • I Gusti Delod Peken, 
  • I Gusti Batan Waringin di Puri Kelodan, Bale Agung, 
  • pangemong di Arca, Bangli. 
  • I Gusti Ngurah Anom Tengen, menjadi patih di Serokadan. 
I Gusti Ngurah Kancing Masuwi atau I Gusti Ngurah Tambaan menyunting putri Ki Gusti Ler Pranawa yang menjabat Demung pada pemerintahan Dalem Segening di Gelgel, itu sebabnya Ida I Gusti Ngurah Kancing Masuwi dijadikan Anglurah olih Dalem Gelgel. Sering Ida I Gusti Anglurah Tambaan pergi pulang ke Gelgel pada saat diadakan pertemuan oleh Dalem di sana. 


Para putra I Gusti Ngurah Praupan banyak yang berhamburan mengungsi ke luar daerah Bangli, seperti ke kawasan Badung, mencari tempat yang dekat dengan leluhurnya dahulu, ada yang berdiam di Peguyangan mencari tempat di desa Praupan. Ada yang bertempat tinggal di Jimbaran dan Serangan, di Bukit Badung, menyembah Pura Balangan. Ada juga yang pindah ke Parerenan, Badung. Semuanya itu membawa pungkusan sebagai warga Arya Bang Wayabiya. 

Ada lagi keturunan Ida Pandita Rsi Bujangga , putra dari I Gusti Caling Lingker, pindah dari Singharsa Bangli, mengungsi ke desa Mengwi, membawa ketu, kukul, bende, serta prasasti. Beliau bernama I Gusti Ngurah Bang Kaja Kauh. 

Diceritakan I Gusti Wayahan sudah dewasa. Beliau didampingi oleh I Pasek Bendesa yang mempunyai anak seeorang bernama 

  • I Pasek Pulasari. 

Karena I Gusti Wayahan sudah mendengar berita bahwa adiknya semua sudah dirangkul serta disayang oleh Raja Bangli, sekarang ada maksud beliau untuk pulang, mencari adiknya semua. Tidak diceritakan berangkatlah beliau diiringkan oleh I Pasek Pulesari. 

Tidak diceritakan di perjalanan tibalah beliau di Serokadan, di sana bertemu dengan adik beliau. Berapa hari beliau di sana , kemudian didengar oleh Raja Bangli. Ada utusan mendatangi I Gusti Wayahan agar menghadap ke Puri Bangli. Menghadaplah beliau. Tidak diceritakan perbincangan mereka, diminta oleh Raja Bangli pulang ke Bebalang. Di sana dijadikan Jaksa oleih penguasa Bangli. Senanglah adik-adiknya semua, diemban oleh para pengikut semua. Setelah lama-kelamaan berada di sana, beliau mengambil istri bernama I Gusti Ayu Nyoman Belong dari Kentel Gumi Banjarangkan. Setelah lama beristri tidak pula mempunyai keturunan. Demikian keadaannya I Gusti Ngurah Wayahan.

Diceritakan sekarang Raja Bangli, sepeningal I Dewa Prasi, putrinya menjadi Ratu bernama I Dewa Ayu Den Bencingah. Setelah lama kemudian beliau bersuamikan I Dewa Gde Anom Rai dari Taman Bali.

Diceriterakan I Dewa Gereh Tangkeban, Nyalian, berperang melawan I Dewa Manggis dari Gianyar. Asal muasal pertikaian itu, disebabkan pusaka –pajenengan yang bernama Ki Lobar, sangat diinginkan oleh I Dewa Manggis. Itu sebabnya terjadi perang. 
Kemudian diceriterakan kalah I Dewa Gereh Tangkeban, kehilangan tenaga di medan laga, direbut oleh pasukan dari Gianyar dan Gelgel. Saat itu kemudian ujung keris Ki Lobar dipatahkan lalu dimakan oleh I Dewa Gereh Tangkeban seraya mengutuk agar sanak saudaranya di Taman Bali dan di Bangli, segera mendapatkan masalah yang sama seperti yang dialami oleh Nyalian, yakni berperang melawan saudara. Apa sebab raja Bangli dan raja Taman Bali dikutuk oleh I Dewa Gereh Tangkeban, karena ketika berepenag, ingkar janji, tidak datang memberikan bantuan, itu sebabnya I Dewa Tangkeban di Nyalian kalah melawan Gianyar dan pasukan dari Gelgel.

Dikisahkan setelah meninggalnya I Dewa Gereh Tangkeban, ada putranya laki-laki yang masih kecil, diasuh oleh hamba sahaya sebanyak 12 orang . Anak yang masih kecil itu diserahkan kepada Ratu Bangli. Diterima putra yang masih kecil itu oleh sang ratu Bangli I Dewa Ayu Den Bencingah. Putra beliau itu kemudian dinamai I Dewa Tangkeban.

Diceriterakan sekarang hamba sahaya yang mengasuh anak yang masih bayi itu dari Nyalian. Hamba sahaya itu diminta untuk datang menghadap oleh Ratu Bangli kepadfa I Gusti Ngurah Wayahan di Bebalang. Setelah menghadap di Bebalang kepada I Gusti Ngurah Wayahan, kemudian diberikan tempat kedua belas orang itu di Tegal Gancan. Belakangan tempat itu dikenal dengan nama Banjar Gancan. Serta hamba sahaya itu membawa parhyangan pasimpangan panyungsungan penguasa Nyalian, pura itu dinamai Pura Agung . Hentikan dahulu.

Ada ceritanya lagi, disebutkan I Gusti Made Kaja Kauh keturunan Arya Bang Pinatih yang meninggalkan kawasan Kerthalangu, Badung, pindah dari Tulikup, ke arah utara perjalanannya, diikuti kawula 66 orang banyaknya, mengungsi ke desa Bebalang. Disana bertemu wicara dengan I Gusti Ngurah Wayahan di Bebalang, di bawah pohon beringin, di sebelah barat rumah I Gusti Wayahan. 

I Gusti Made Kaja Kauh bertanya kepada I Gusti Wayahan. 
Katanya : 
“Inggih Gusti, saya memohon maaf kepada Gusti, kalau memang berkenaan I Gusti, serta juga agar tahu tentang diri I Gusti, mohon dijelaskan siapa sebenarnya I Gusti ? ”. 
Lalu menjawablah I Gusti Ngurah Wayahan, katanya 
“Inggih Gusti, saya minta perkenaan kepada Gusti, mula saya bertempat tinggal disini di Bebalang, saya memang keturunan I Gusti Bija Pulaga dulu”. 
Dengan penuh keinginan I Gusti Kaja Kauh berkata lagi 
“I Gusti Bija Pulaga itu siapa ? Siapa yang menurunkan?’
 Menjawab I Gusti Wayahan : 
“I Gusti Bija Pulaga itu bhatara kami dahulu, putra dari I Gusti Made Bija yang bersaudara dengan I Gusti Ngurah Pinatih Rsi, di Kerthalangu, Badung. Leluhur beliau itu diperintahkan Dalem dulu, menjadi penguasa negara Badung”. 
Demikian kata I Gusti Ngurah Wayahan. Kemudian berkata I Gusti Kaja Kauh, katanya : 
“Inggih I Gusti, saya tadi matur, apa sebab I Gusti ada di sini, agar tahu keberadaan I Gusti, saya adalah putra I Gusti Made Pahang Pinatih, tetapi malang, leluhur saya dikalahkan oleh semut. Itu sebabnya saya datang ke sini’. 
Demikian permbicaraan mereka berdua. Karena I Gusti Ngurah Wayahan dan I Gusti Made Kaja Kauh sama-sama tahu bahwa keberadaan beliau berdua memiliki kawitan satu, itu sebabnya beliau berdua memakai bahasa satu yakni menyebut kakak-adik.

Diceritakan kembali besok paginya, keluar Ki Arya berdua, berkeliling guna melihat-lihat tempat di sana. Lalu berkata I Gusti Ngurah Wayahan.: 
“Dinda Made Kaja Kauh, yang mana tempat yang cocok untuk diri dinda”. 
Menjawab I Gusti Made Kaja Kauh : 
“Inggih, dinda meminta itu yang di depan timur laut puri kanda. Lalu dinda akan membangun puri”. 
Berkata I Gusti Wayahan 
“Dinda Made Kaja Kauh, silahkan dinda membangun, kanda malu menyuruh hamba sahaya disini di Bebalang, karena lain perintahnya nanti.” 
Menjawab I Gusti Made Kaja Kauh : 
“Inggih, kanda diamkanlah hal itu. Ini bala (rakyat) yang mengikuti dinda dari Tulikup miliki bersama kanda dan dinda, agar membuatkan dinda rumah”. 
Demikianlah akhirnya keadaan mereka sebagai Arya di tempat itu .

Diceritakan adik I Gusti Wayahan , bernama I Gusti Ayu Alit, lama kemudian diambil sebagai istri oleh I Gusti Kaja Kauh, sehingga beripar I Gusti Wayahan dengan I Gusti Kajakauh. Ada terlahir dua anak lelaki. Yang pertama dinamai I Gusti Gede Kaja Kauh, adiknya bernama I Gusti Made Talibeng. Lama kemudian dewasalah berdua putra itu, tahu mereka mengambil pekerjaan di sawah sebelah timur puri, persawahan itu dinamai persawahan Talibeng. Serta I Gusti Talibeng, semua keturunannya membawa sebutan warga I Gusti Talibeng.

Serta I Gusti Kaja Kauh berputra laki seorang bernama I Gusti Putu Kajakauh, di kemudian hari semuanya membawa nama warga pungkusan Arya Bang Wayabiya atau Arya Bang Kajakauh, seperti yang menjadi petuah tetua mereka dahulu di Bale Agung, Bangli.

Ada kisah lain lagi, I Gusti Ayu oka, putra I Gusti Ngurah Sidemen asalnya diinginkan oleh raja di Gegel, namun pada saat keadaaan Kaliyuga di Gelgel, saat itulah I Gusti Ayu Oka meninggalkan puri Gelgel, tidak karuan perjalanannya. Tidak diceritakan dijalan, lalu tibalah didesa Bebalang, disambut oleh I Gusti Kajakauh, kemudian diambil istri oleh I Gusti Putu Kajakauh, sudah diupacarai widhi widana.

Diceritakan I Gusti Ngurah Wayahan. Sangat sayang ratu Bangli I Dewa Ayu Den Bencingah kepada I Gusti Ngurah Wayahan. Ada masalah berkenaan dengan suami I Dewa Ayu Den Bencingah yang bernama I Dewa Anom Rai, meninggal di Balai Sumanggen, karena tidak setia kepada isterinya I Dewa Ayu Den Bencingah. Itu sebabnya dinamai I Dewa Mantuk ring Sumanggen, Bangli.. Tidak diceritakan lagi.

Diceriterakan juga bahwa anak yang diasuh di Puri Bangli yakni I Dewa Tangkeban, sudah meningkat dewasa, bagus rupanya, diasuh oleh I Dewa Ayu Den Bencingah. Itu juga sebabnya seringkali dilihat atau diperhatikan oleh I Gusti Ngurah Wayahan. Prihal prilaku I Dewa Gde Tangkeban yang durhaka kepada ratu dan durhaka kepada ibu, dirasakan oleh I Gusti Ngurah Wayahan. Itu sebabnya marah I Dewa Tangkeban kepada I Gusti Ngurah Wayahan.

Diceritakan sekarang Ratu Bangli, karena marah, menginginkan kematian I Gusti Ngurah Wayahan, dengan alasan tidak berbeda sikapnya menyamai ratu Bangli. Itu sebabnya ratu Bangli, menyuruh Ki Mekel Sekerdadi agar menghadap ke Puri. Sedatangnya I Mekel Sekardadi menghadap ke Puri, ada perintah Ratu Bangli, agar membunuh I Gusti Ngurah Wayahan. Serta diberikan pusaka -pajenengan keris bernama I Banyuwangi, untuk membunuh I Gusti Ngurah Wayahan. I Mekel Sekardadi menuruti perintah beliau. Sesudah itu memohon diri I Mekel Sekardadi.

Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Wayaan menghadap kapada Ratu Bangli. Ada permintaan Ratu Bangli kepada I Gusti Wayahan. Katanya : 
“Dinda Ngurah Dauh pergilah dinda ke Brangbangan, Salulung, Kintamani. Menghitung upeti kawasan itu.. Pasukan sekardadi akan turut dalam perjalanan dinda”. 
Lalu berkatalah I Gusti Wayahan. Katanya : 
” Inggih, kalau begitu perintah I Dewa, saya menurut “. 
Seraya pulang I Gusti Ngurah Wayahan menemui isterinya di Bebalang. Saat itu beliau berkata kepada isterinya : 
 “Dinda Ngurah Ayu, sekarang di rumah dinda baik-baik. Kanda diutus oleh Ratu Bangli, diperintahkan mencari upeti bumi di Brangbangan”. 
Demikian kata I Gusti Ngurah Wayahan kepada isterinya. Diceriterakan setelah lewat malam hari, sekarang tibalah pagi, sudah beliau mandi. Setelah mandi kemudian berpakaian, pakaiannya berkedudukan Mantri. Berkata istrinya ; 
“ Kanda Ngurah, bilamana kanda pergi, keris yang berlekuk (luk) tiga biarkan di Puri”.

Diceriterakan sekarang perjalanan I Gusti Ngurah Wayahan, diikuti bala yang mengiringkan. Tidak diceritakan di tengah perjalanan, tibalah di barat laut bukit bernama Sekardadi. Tak dinyana, disana beliau disambut oleh pasukan perang I Mekel Sekardadi. Lalu direbut I Gusti Ngurah Wayahan oleh I Mekel Sekardadi. Baru luka dua, beliau menyebut-menyebut Dalem Ketut dahulu, katanya : 
“Ratu Bathara Dalem, jikalau hamba masih memiliki keturunan, agar sanak keturunan hamba hanya kepada Bhatara Dalem saja menghamba”. 
Hanya itulah atur I Gusti Ngurah Wayahan, kemudian ditusuklah lambung beliau sebelah kiri, muncrat darah beliau membasahi daun kayu yang lantas berbau harum dan kemudian beliau wafat. Kemudian jasadnya diupacarai oleh orang Sekardadi, serta dikubur di sana. Tempat itu kemudian dinamai Kayu Ambua
Padukuhan di sana juga dinamai Padukuhan Pasek Telagi
Lama-kelamaan karena Ki Arya wafat dikasihi Yang Mahakuasa, ada tanda-tanda prihal permintaan sang meninggal, beliau meminta parhyangan, yang disembah oleh yang menginginkan kematiannya. 

Diceritakan I Gusti Kancing Masuwi, adik yang berdiam di Puri Tambaan. Beliau mendengar khabar dari pembicaraan orang-orang pangalu, bahwa sang kakak di Bebalang sudah meninggal. Menjadilah sesak dada beliau I Gusti Ngurah Tambaan sekeluarga, lalu segera pergi beliau ke Bebalang. Sesampainya di Puri Bebalang, lalu dilihat istri I Gusti Wayahan sudah wafat menusuk diri di halaman Puri. Serta masih memegang keris. Lalu menangislah I Gusti Tambaan.

Setelah matahari terbenam, sampai tengah malam, lalu berbicaralah I Gusti Ngurah Tambaan kepada semua saudaranya di Bebalang terutama I Gusti Kaja Kauh. Katanya :
” Adi Made Ngurah, bagaimana cara memikirkan kemalangan dinda – kanda sekarang ini “. 
Menjawab I Gusti Kaja Kauh ; 
“Inggih Kanda, dengan keadaan seperti sekarang ini ada baiknya kanda mengirim utusan ke Petak, ke Serokadan, ke Bale Agung, agar datang saudara semua”. 
Demikian atur I Gusti Made Kaja Kauh, disetujui oleh I Gusti Ngurah Tambaan Kancing Masuwi. Setelah malam berganti pagi, kemudian beliau mengirim utusan, agar semua saudaranya datang. Diceriterakan setelah semua genap saudaranya datang- besar kecil – lalu diadakan pembicaraan di rumah I Gusti Ngurah Wayahan. Berkatalah I Gusti Ngurah Tambaan Kancing Masuwi kepada saudaranya semua, katanya : 
“Dinda para Arya Wayabiya semuanya, karena beliau sesepuh kita semuanya I Gusti Ngurah Wayahan sudah meninggal diperdaya di Penyabeh, mari kita semuanya memohon kesejahteraan kepada Ida Dalem Ketut di Parhyangan Hyang Tegal. Juga memohon keselamatan kepada Ida Bhatara Kawitan serta melakukan persembahyangan kepada Ida Bhatara Manik Tirtha, buatkan panyawangan di Pura Hyang Tegal, karena semuanya malu untuk bersembahyang di Manik Tirtha. Nah baiklah kita upacarai jasad ipar kita dahulu oleh saudaraku semua”. 
 Tidak diceriterakan sudah dilaksanakan upacara palebonan isteri I Gusti Ngurah Wayahan menurut tata upcara sang meninggal.

Lama-kelamaan ada hari baik, yakni hari Anggara Kliwon wara Kulantir, bulan Kedasa, bulan Bali kesepuluh, tanggal 10, pada saat itu membangun Parhyangan itu, dengan bahan turus dapdap di sebelah barat Sungai Melangit, di palinggih Hyang Tegal, di sebelah timur Bebalang. 

Di sana semua, para Arya di Bebalang, Serokadan, Beleagung, Tambaan, Petak, Pulung, menghaturkan sembah kepada Bathara Dalem. Atur beliau semuanya : 
“ Ratu Bathara Dalem, bilamana hamba masih memiliki keturunan, agar kepada Bhatara Dalem saja menghamba”. 
Demikian sumpah Ki Arya semua. Setelah demikian berbicara I Gusti Ngurah Made Kaja Kauh kepada putranya dua orang, katanya : 
’’ Nanda Gede Kaja Kauh, nanda Made Talibeng, karena nanda bersaudara di sini di Bebalang, apabila ayah sudah tiada, nanda agar ingat menyembah di Pariyangan Dalem Pulaga ini”.

Ada ceritanya lagi, I Gusti Talibeng berkata kepada I Gusti Ngurah Tambaan Kancing Masuwi, katanya : 
“Ayahhanda, kalau benar permohonan nanda kepada ayahhanda, agar di sini ayahanda mendirikan Puri di sebelah timur desa Bebalang. Agar jangan jauh dari parhyangan kita”. 
Menjawab I Gusti Ngurah Tambaan: 
“Inggih, ada pemikiran nanda demikian, ayahanda menyetujui keinginan nanda itu”. 
Setelah itu segera I Gusti Ngurah Kancing Masuwi membangun puri di Pategalan Bebalang, di Plancan, Tegal sebelah utara Pura Dalem Pulagaan . Putranya I Gusti Ngurah Tambaan Saguna serta adiknya tetap tinggal di Tambaan. Hentikan dahulu .

Ada cerita lagi, I Gusti Ngurah Gede Kaja Kauh, berbincang dengan I Gusti Ngurah Kancing Masuwi, diiringkan oleh I Gusti Made Talibeng. Pembicaraan itu berlangsung pada hari Rabu Kliwon, Sinta, bulan kelima, tanggal ping 12. Saat itu berujar I Gusti Ngurah Gede Kaja Kauh kepada I Gusti Ngurah Kancing Masuwi : 
“Inggih ayahanda, seperti sekarang sudah datanglah janji kita, Anggara / Selasa kliwon Kulantir. Bagaimana cara kita memperbincangkan prihal di Pura Dalem Pulagaan, agar berjalan upacara pangupa aci. Agar berjalan segala suatu berkenaan dengan piodalan pujawali Ida Bhatara”.

Lalu berkata I Gusti Ngurah Kancing Masuwi kepada kemenakannya tertua, bernama I Gusti Ngurah Arsa Guwi.
” Nanda Arsa Guwi, kirimlah utusan ke Petak, ke Serokadan, ke Bale Agung, Bangli. Berapa yang mengikuti perkataan ayahanda. Kalau sudah datang, agar bisa dicatat ke tembaga wasa (prasasti)”. 
Lalu I Gusti Guwi menjalankan surat kepada saudara masing-masing.

Diceriterakan pada hari Kamis Umanis, datang semua saudaranya. Semua menuju desa Bebalang. Sesudah penuh, rakyat juga menghadap, dan setelah semuanya selesai memakan sirih, lalu mulai diadakan pembicaraan prihal masalah seperti di depan. Karena sudah sama-sama menjawab, bersatu tidak ada yang ingkar, seperti keputusan pembicaraan terdahulu. Akan menyelanggarakan pujawali-piodalan di Pura Dalem Pulagaan.

Pada akhirnya I Gusti Ngurah Kancing Masuwi bertemu wicara dengan rakyatnya yang merupakan keluarga I Pasek Penyarikan, yang paling dituakan memakai pungkusan I Pasek Pulasari. Kata I Gusti Ngurah Tambaan : 
“Bapa gede pulasari, sekarang saya membangun pura bernama Dalem Pulagaan, sebagai tempat pengayatan Bathara Dalem Ketut, saya pakai tempat persembahyangan bersama saudara saya semua. Sekarang masihkah Pasek setia kepada saya ? Bila Pasek setia kepadaku, saya juga pageh dengan kepasekan bapak”. 
Kemudian berkata I Pasek : 
“Ratu panembahan hamba Cokor I Gusti, walaupun hamba jaba, agar hamba ngajabain Cokor I Ratu saja, karena Cokor I Gusti ingat sekali kepada hamba, agar seketurunan hamba masih dipegang oleh Cokor I Gusti”. 
“Nah kalau Bapa Pasek masih setia, saya juga pageh dengan Kepasekan Bapa. Sekarang saya membuat desa dadiya dengan saudaraku yang kokoh membawa keAryaannya. Kalau menyelenggarakan aturannya, saya memiliki anak I Gusti Ngurah Arsa Guwi. Agar dia memimpin semua saudara saya. Agar bisa saya catatkan ke tembaga wasa (prasasti). Sekarang Pasek agar menjadi Panyarikan Desa di Dalem Pulagaan. Prihal pengeluaran, kemudian pangupa aci, agar bisa Bapa Pasek memikirkannya. Agar tercatat di likita. Agar saya catat ke pariagem prasasti”. 
Lalu berkatalah I Pasek tidak ingkar.

Di sana I Pasek Panyarikan, menulis semua isi upakara. Sampai kepada garam, kelapa butiran, serta uang. Pendeknya, semua penghabisan itu, ditulis oleh I Pasek Panyarikan. Selesai pembicaraannya waktu itu. Hentikan dahulu .

Dikisahkan pada hari Saniscara/Sabtu Kliwon Landep tidak lain yang dibicarakan seperti di depan. Yakni prihal tatkala I Gusti Ngurah Tambaan menurunkan semua saudaranya. Setelah semuanya datang, penuh tempat penghadapan di bawah pohon beringin di desa Bebalang. I Gusti Ngurah Arsa Guwi diangkat untuk mengatur saudaranya berjumlah 45 KK sewilayah Bangli. Sampai dengan Arya Pamijian, serta I Pasek menanyakan kerabat 138 KK sewilayah desa Bebalang. Hal itu ditulis I Pasek menjadi berkentongan satu – tunggal.

Tidak diceritakan hari berganti hari, tibalah hari piodalan wali di Pura Dalem Pulagaan. Penuh sesak pada upacara di pura Dalem. Tatkala itu berkatalah I Pasek Panyarikan 
“Inggih I Gusti Ngurah semua, hamba diminta oleh I Gusti menjadi panyarikan desa. Sekarang hamba minta tangtu kepada Cokor I Gusti. Kalau ada rakyat I Gusti bertikai dengan saudara mereka, agar bisa hamba menjalankan benar salah untuk mereka”. 
Kemudian berkata I Gusti Ngurah Tambaan : 
“Nah sekarang Bapa Pasek menyelesaikan persoalan untuk di jaba/luar. Kalau di sini di luhur, aga saudara saya menjadi juru sapuh. Sekarang Bapa Pasek merencanakan pangupa aci ke Puseh sampai ke Baleagung”. 
Demikian, selesailah pembicaraan I Gusti Ngurah semuanya disertai oleh I Pasek. Lalu semuanya membuat pernyataan dan ketentuan. Ki Arya semua menyampaikan pernyataannya: 
“Ratu Bathara di Gunung Agung, kalau saya mempunyai keturunan, disertai oleh I Pasek, seketurunan saya agar menjadi juru sapuh di Dalem Pulagaan ini, serta menyembah di Pulagaan. Jika tidak menyembah agar tidak menemui suka di tempatnya masing-masing. Bagaikan tidak ingat kepada kawitan/leluhur”. 
Berkatalah I Pasek Pulasari : 
“Ratu Bathara di Gunung Agung, kalau hamba bisa beranak cucu agar seketurunan hamba menjadi Panyarikan Desa di Dalem Pulagaan ”.

Setelah itu diceritakan pada masa pemerintahan I Dewa Tangkeban menjadi Raja di negara Bangli, ada kedigjayaan pusakanya keris bernama I Luk Telu. Tatkala itu para Arya masih memegang kemantrianya. Lalu menjadi Arya Pamijian. Karena itu banyak yang pindah ke desa lain.

Serta ada juga Arya Bale Agung yang mulanya menjadi patih di Panida, bernama I Gusti Panida. Beliau pindah ke Den bukit, menjadi Panyarikan I Gusti Panji Sakti di sukasada, kemudian tinggal berdiam di sana. Diceritakan lagi, banyak yang pindah dari Bangli ke luar daerah. Mereka siap memelihara kekokohan keAryaannya

3 komentar:

  1. cerita yang menairk, mengungkap sejarah yang dalam.

    BalasHapus
  2. kisah yang menarik dan pantas di apresiasi oleh masyarakat khususnya masyarakat bali. mungkin jika diangkat menjadi sebuah film kebudayaan dan sejarah akan sangat menarik sehingga masyarakat Bali akan dikenal dunia sebagai masyarakat yang menjunjung budaya leluhur.

    BalasHapus
  3. sungguh menarik ceriatnya, terbawa dalam masa silam...

    BalasHapus