Bhagavad Gita 4.7-8
Ketika Tuhan Diaanggap Bisa Nongol Seperti Superhero
Ada kepercayaan yang menarik—kalau tidak bisa disebut menggelikan—bahwa Tuhan itu seperti makhluk magis yang muncul kapan pun dunia sedang kacau , lengkap dengan efek suara "woosh" dan cahaya menyilaukan, lalu turun ke bumi, masuk ke rahim manusia, dan jadi tokoh bernama Krishna.
Begitulah cara sebagian penganut Hare Krishna memahami Bhagavad Gītā 4.7–8 . Dengan tafsir menyalakan TV, mereka percaya bahwa Tuhan betulan turun dari dimensi spiritual, naik lift astral, lalu “sambhavāmi yuge yuge” – menjelma setiap zaman sebagai avatar literal. Bagi mereka, inkarnasi Tuhan bukanlah peristiwa kesadaran, tapi adegan drama epik berbalut bhajan dan bunga melati.
Namun, Gita bukan komik. Dan Krishna bukan tokoh Marvel yang bisa "nge-blip" ke bumi setiap kali ada krisis moral. Sloka 4.7–8 bukan pengumuman jadwal wahyu Tuhan , melainkan pernyataan filosofis: bahwa Kesadaran Ilahi (Ātman/Brahman) akan termanifestasi ketika dharma terancam, bukan melalui kelahiran Tuhan, tetapi melalui kebangkitan dalam kesadaran manusia suci.
Anehnya memang, bagaimana ayat-ayat luhur bisa dikecilkan menjadi ajaran pemujaan pribadi. Tuhan yang sejatinya aja , avyaya , nitya , dan nirākāra , diubah menjadi makhluk bersejarah yang bisa lahir, mati, bahkan ditangkap Duryodhana.
Padahal, bukan dalam Gitā sendiri Krishna berkata:
"na māṁ karmāṇi limpanti..." (BG 4.14)
“Tidak ada tindakan duniawi yang menyentuh-Ku.”
Lalu bagaimana dia bisa turun dan berkarya , kalau dia sendiri berkata tidak pernah bertindak?
Jadi, sebelum terlalu terpesona oleh kata “sambhavāmi”, mari kita dudukkan maknanya secara Vedantik. Karena jika tidak, kita tidak sedang menyembah Tuhan, tapi menonton sinetron religi yang salah salurannya.
mari kita simak kembali Bhagavad Gita 4.7 dan Bhagavad Gita 4.8
Bhagavad Gita 4.7
yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata
abhyutthānam adharmasya tadātmānaṁ sṛjāmy aham
“Wahai Arjuna, keturunan Bhārata, kapanpun dharma merosot dan adharma meningkat, saat itu Aku mewujudkan Diri.”
Tafsir Filsafat Bhagavad Gita 4.7:
Frasa “ātmānaṁ sṛjāmi” (aku mewujudkan Diri) bukan berarti kelahiran biologis. Dalam konteks Vedānta , kata ātman Merujuk pada kesadaran murni (brahma-caitanya) yang mencakup segalanya. Maka, “sṛjāmi ātmānam” harus dipahami sebagai pengaktifan atau pemunculan kesadaran ilahi melalui seorang jñānī, ṛṣi, atau gerakan dharma , bukan kelahiran Tubuh Tuhan.
Catatan: Dalam Kaṭha Upaniṣad 2.18 , ditegaskan:
“na jāyate na mriyate vā kadācin...”
“Ia (Ātman) tidak dilahirkan, tidak mati, tidak mempengaruhi waktu.”
Berarti, Tuhan sejati menurut Upaniṣad dan Gītā awal (2.20) tidak bisa dilahirkan atau mati. Maka, tafsir inkarnasi harafiah jelas dipisahkan dengan teks wahyu (Śruti).
Bhagavad Gita 4.8
paritrāṇāya sādhūnāṁ vināśāya ca duṣkṛtām
dharma-saṁsthāpanārthāya sambhavāmi yuge yuge
“Untuk melindungi orang suci, menghancurkan pelaku kejahatan, dan menegakkan kembali prinsip dharma, Aku hadir dari zaman ke zaman.”
Tafsir Filsafat Bhagavad Gita 4.8:
“sambhavāmi yuge yuge” bukan berarti Tuhan dilahirkan dalam wujud manusia di setiap zaman. Kata sambhava bermakna kemunculan atau manifestasi , bukan kelahiran biologis. Yang dimaksud adalah perwujudan nilai-nilai dharma , kadang melalui manusia agung, kadang melalui bencana sejarah, kadang lewat transformasi sosial.
Śruti tidak pernah mengajarkan bahwa Tuhan bisa dilahirkan dan mati. Contohnya:
"nājāyata na mriyate vā kadācin..."
"Ia (Ātman/Brahman) tidak dilahirkan dan tidak mati." – Kaṭha Upaniṣad 2.18 , juga diulangi dalam Bhagavad Gītā 2.20
Contoh nyata:
-
Ketika Buddha muncul, bukan berarti Brahman lahir jadi manusia, melainkan kebenaran ilahi terwujud melalui beliau.
-
Ketika Mahatma Gandhi menegakkan ahimsa, itulah bentuk “sambhava” Brahman dalam ranah sosial.
Catatan tentang Duryodhana ingin menangkap Krishna
Kisah ini berasal dari Udyoga Parva dalam Mahābhārata. Dalam kisah tersebut, Krishna memang datang sebagai duta damai (bukan sebagai Tuhan), dan saat Duryodhana ingin menahannya, Krishna menampilkan bentuk Viśvarūpa . Tapi ini bersifat simbolik , bukan berarti Krishna adalah Tuhan secara harfiah. Bahkan Mahābhārata sendiri menyebutkan bahwa Krishna adalah manusia bijak , narottama :
"nārāyaṇaḥ sa hariḥ kṛṣṇo devakī-nandano vibhuḥ
ekam advitīyaṁ brahma prāptaṁ deham narākṛtim"
— Harivaṁśa Parva 3.88.24
Namun ayat ini bersifat pujian metaforis , bukan laporan sejarah tentang “Tuhan lahir”.
Tuhan Tidak Pernah Menjadi Sosok
Dalam Advaita Vedānta , Brahman adalah:
-
Nirākāra (tanpa bentuk)
-
Nirguna (melampaui sifat)
-
Akartā–Abhoktā (tidak bertindak, tidak menikmat hasil)
Jadi, mustahil Brahman menjelma menjadi pribadi yang lahir, marah, membunuh, atau berpihak secara duniawi. Krishna dalam Gita bukan sekadar tokoh, tetapi perwakilan Inteligensi Kosmis ( Yogeśvara ), yaitu Buddhi murni yang memandu jiwa Arjuna menuju kebijaksanaan.
Kesalahan Fatal Tafsir Antropomorfik
Para pengikut sekte yang mempersonifikasikan Krishna sebagai Tuhan literal sering gagal membedakan:
-
Narasi (itihāsa) ≠ Ontologi (Upaniṣad)
-
Kresna sebagai tokoh Mahābhārata ≠ Kresna sebagai simbol Atman
Sloka 4.7–8 bukan justifikasi inkarnasi biologi Tuhan, tapi penjelasan bagaimana dharma bangkit melalui saluran duniawi, bukan kelahiran supranatural.
Penggunaan sloka-sloka ini untuk membenarkan doktrin inkarnasi literal adalah pelanggaran terhadap makna Vedantik Bhagavad Gitā. Ajaran sejati Gita dan Upaniṣad adalah:
-
Brahman tidak dilahirkan dan tidak mati (aja, avyaya)
-
Atman tidak berubah, tidak berwujud, melampaui bentuk
-
Kehadiran Tuhan adalah kehadiran Kesadaran, bukan jasmani
“Sambhavāmi Yuge Yuge” bukan berarti Tuhan lahir. Itu berarti kesadaran dharma bangkit kembali. Terkadang melalui seorang bijak, terkadang lewat gempa sejarah. Tapi bukan karena Tuhan harus menjelma seperti superhero lahir dan mati. Itu bukan gaya Brahman. Itu gaya sinetron.
Sloka Bhagavad Gita 4.7–8 adalah ajaran evolusi spiritual , bukan mitos kelahiran Tuhan. Saat dharma memudar, Kesadaran Ilahi ( Brahman–Ātman ) akan membimbing dunia melalui inspirasi, para bijak, dan kesadaran kolektif.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar