Ketut Darsana: Pengrajin Wayang Kulit Sukawati yang Menghidupkan Tradisi Parwa
Sukawati sudah lama dikenal sebagai pusat seni pewayangan Bali. Dari banjar ke banjar selalu terdengar denting tatah dan sungu yang memahat kulit menjadi tokoh-tokoh adiluhung. Di tengah tradisi itu berdirilah nama Ketut Darsana, seorang pengrajin wayang kulit yang tekun menjaga napas Parwa—genre pewayangan klasik yang menjadi fondasi dalang-dalang Bali.
Ketut Darsana tidak hanya mengerjakan wayang sebagai benda seni; ia memperlakukannya seperti makhluk hidup yang harus dilahirkan dengan disiplin dan rasa hormat. Setiap tatah, setiap goresan, mengikuti pakem anatomi wayang Parwa: tarikan wajah, bentuk mata, struktur tubuh, hingga detail ornamen gelang, praba, dan jamang. Ketepatannya membuat banyak dalang memesan langsung kepadanya, karena wayang buatannya tidak hanya indah, tetapi “seimbang”—enak ditatah saat pentas.
Yang membuat sosoknya menonjol adalah bahwa ia bukan sekadar pengrajin. Ia juga seorang dalang aktif yang paham bagaimana wayang bekerja di panggung. Pengetahuannya tentang ritme tetabuhan, dramaturgi, hingga rasa dialog memperkaya proses kreatifnya. Sebuah tokoh tidak hanya dibuat bagus, tetapi juga memiliki “jiwa panggung”—ringan digerakkan, tidak berat, dan lentur pada bagian yang membutuhkan ekspresi.
Dalam perkembangan zaman, tantangan pengrajin wayang kulit adalah mempertahankan kualitas di tengah derasnya produksi instan. Ketut Darsana memilih bertahan pada cara lama: kulit sapi yang disamak benar, proses pewarnaan manual dengan teknik pelapisan, dan penguatan struktur memakai urat bambu pilihan. Dedikasinya menjaga tradisi Parwa menjadikan karyanya bukan hanya kerajinan, tetapi bagian dari upaya mempertahankan identitas budaya Sukawati.
Ketut Darsana adalah bukti bahwa tradisi Parwa masih hidup bukan karena museum, tetapi karena tangan-tangan yang terus bekerja dalam kesunyian—menciptakan tokoh demi tokoh agar cerita para leluhur tetap bergema di Bali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar