Google+

Upacara Yadnya – dalam kehidupan masyarakat Bali Hindu

Upacara Panca Yadnya – dalam kehidupan masyarakat Bali Hindu

Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha (semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru).
Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.

Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina.

Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Segehan merupakan salah satu ritual Bhuta Yadnya.
Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego).
Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Arak dan Berem, Miras (alcohol) yang juga bahan Upakara di bali

Arak dan Berem, Miras (alcohol) yang juga bahan Upakara di bali.

miris sekali melihat di Bali, banyak sekali korban berjatuhan akibat minum arak metanol...

ceramah agama dari para sulinggih/pendeta dan dari buku2 agama mengatakan bahwa arak dan berem (minuman beralkohol) adalah “minuman Bhuta Kala”, yang dapat meimbulakan kemabukan, dan bukankah mabuk merupakan salah satu dari sad ripu yg harus kita kendalikan?

harus dipahami dulu apa itu Butha Kala, 
Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya Kekuatan (Power), unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu;
  1. Pertiwi, yang merupakan unsur padat/tanah
  2. Apah, merupakan unsur cair/air
  3. Teja, merupakan unsur cahaya/api
  4. Bayu, merupakan unsur angin/udara
  5. Akasa adalah Ruang/eter
Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala.

"Bhuta Kala adalah Ruang dan Waktu"

Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Bila kekuatan yang tidak pada tempatnya atau dengan kata lain Butha (Power) ini hadir pada Kala (waktu) yang tidak tepat maka timbul musibah : Tanah lonsor, Tsunami, Kebakaran besar, dll

Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas.

Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.

Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah “mecaru untuk nyomia Bhuta Kala”. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.

Jadi, untuk menjaga keseimbangan dari Butha (Power) ini maka diadakanlah upacara Butha Yadnya (korban suci yang tulus ikhlas) yang ditujukan pada kekuatan (Power) di bawah manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Salah satu bentuknya dengan menghaturkan Segehan/Caru yang selalu dikaitkan dengan Arak dan Berem.

Semuanya menggunakan Arak/Berem (minuman keras) sebagai tetadahan (minuman) dari mereka, Arak/Berem ini tergolong minuman yang bersifat Tamasika. Bila diminum bisa menyebabkan kelembaman, inactivity.

Metoda untuk menghaturkannya adalah dengan menyiratkan/menuangkan secara simbolis, ini juga sangat bergantung kepada tradisi di daerah masing-masing.

Namun perlu diingat bahwa kita sebagai manusia (keturunan Manu=Manusia pertama) menggunakan “viveka jnana” (kemampuan untuk memilih dan mempertimbangkan) untuk memilih makanan. Secara umum makanan itu bisa dikatagorikan menjadi tiga:
  1. Satwika : Bila dimakan memberikan ketenangan dan kekuatan
  2. Rajasika : Bila dimakan membuat agresif dan aktif
  3. Tamasika : Bila dimakan membuat lembam/malas.

Minum Arak Berem (Tamasika) akan membuat malas/lembam, yang sangat tidak diinginkan dalam masyarakat, oleh karena itu maka kita menjauhi minum ini. Namun untuk pengobatan, nah itu tidak masalah sesuai dengan anjuran dokter. 

"apapun yang digunakan/dilakukan/dimakan, apabila berlebihan sangatlah tidak baik
jangankan arak berem, nasi-pun bila dimakan berlebihan akan berakibat buruk...

Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?

Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?


Mecaru (upacara Byakala) 

adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta / Panca Maha Bhuta.

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
  • Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
  • Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
  • Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia

Bhuta Yadnya untuk Keharmonisan

Bhuta Yadnya untuk Keharmonisan

Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Bagi masyarakat Hindu bhuta kala ini diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka kekuatan-kekuatan tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia.

Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia.