Google+

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Segehan merupakan salah satu ritual Bhuta Yadnya.
Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego).
Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Segehan artinya "Suguh" (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubanya seperti badan kita ini.

Segehan dihaturkan kepada aspek SAKTI (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar KALA TATTVA, lontar BHAMAKERTIH. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan ditempat tempat terjadnya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

macam - macam segehan;


Segehan Kepel Putih

  • Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin.
  • Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
  • Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
  • Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
  • Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
  • diatasnya disusun canang genten.
  • Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.

Segehan Kepel Putih Kuning

sama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.

Segehan Kepel warna lima

sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun.
segehan kepelan manca warna, disamping di pakai dalam ritual bhuta yadnya saat kajeng klion, juga sering digunakan oleh krama bali yang menekuni ajaran kanda pat bhuta, yang merupakan tahap awal belajar tenaga dalam spiritual bali. khusus untuk banten segehan kepelan manca warna ini dibuat dengan cara khas, yakni dengan menggambil gegenggam nasi sesuai warna, yang kemudian dikepalkan sekuat tenaga, hanya dalam sekali kepalan saja, dan bagaimanapun hasil kepalannya, itulah yang dijadikan nasi kepal ini, sehingga kadang kala, hasil kepalannya kurang bagus, baik pecah ataupun agak hancur (rapuh). nasi kepal ini di buat dengan 5 warna, yang diupayakan menggunakan pewarna alami:
  • Putih - ketan. atau nasi putih
  • Merah - beras merah. atau nasi dengan pewarna dari campuran air parutan kunyit dengan sedikit kapur (pamor)
  • Kuning - beras, atau nasi dengan pewarna  dari air parutan kunyit
  • hitam - ketan hitam (injin). atau nasi dengan pewarna hitam/arang,
  • Panca warna - gabungan 4 warna beras diatas.

Segehan Cacahan

segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih;
  • 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.
kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih:
  • 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.

ke-empat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng klion atau pada saat upacara – upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

Segeh Agung

merupakan tingkat segehan terakhir. segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara bhuta yadnya yang lebih besar lainnya. adapun isi dari segeh agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).

adapun maksud simbolik banten ini adalah
  • alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam
  • daksina, simbol kekuatan Tuhan
  • segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar).
  • Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa).
  • anak ayam, merupakan symbol loba, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam
  • api takep, api simbol dewa agni (baca: Agni Hotra versi Bali) yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif.
adapun tata cara saat menghaturkan segehan yang harusnya setiap Orang Bali Wajib Ketahui hal ini adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, di taruh mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam di putuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar