Prasasti adalah
ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali Kuno. Prasasti menjelaskan
tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan
tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti nama
keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari
raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang
kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah
hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama
mereka berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan? Adakah
terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun
dari orang luar?
Sejarah
pemerintahan raja-raja Bali Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan
cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan
digantikan oleh istri dan atau anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum
cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat
dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan, maka akan
dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang
ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh
Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri Pasung Gerigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak
kawin seumur hidup), untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura
Lempuyang, Gamongan, Karangasem.
Setelah terkumpul
salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang
lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu.
Kadang-kadang terlihat nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi
orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri
Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut
tahun Prasasti dan Purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi.
Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak
ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu
pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut
Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jayasakti
mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150 Masehi, yang disebut
Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali
Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu
Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat
jelas kisah kehidupan para raja Bali Kuna itu.
Teks Piagem Dukuh
Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jayasakti identik
dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah
kandung Sri Gnijaya juga (tanpa ident sakti di belakang
namanya). Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam
kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna
merah, Warna merah identik dengan warna Api atau Gni. Dari
analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya, raja ini
banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad,prakempa, pamancangah lainnya
yang ada di Bali masa kini.
Demikian pula
setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang
menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut
prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi
(Semadi Astra, 1977:21).
Dalam purana, raja
Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu
adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan.
Hanya satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut
prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa,
Purana Pura Pucak Bukit Gede, raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20
tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.
Dengan demikian
Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja, kemungkinan setelah
Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang
permaisuri yang seorang janda, maka disebut Waluprabu. Atau
analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhuberasal dari bahasa
sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu, Wala
artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum berkembang penuh,
muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadiwalaprabhu artinya raja
muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal
tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih
kecil, bersama-sama menjadi penguasa Bali pada era itu.
Tetapi kebalikkan
dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu
selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing
burwan, bhatara lumah ing banu wka, artinya, raja Sri Aji Hungsu
setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang
dicandikan di Buruwan, dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka.
Sedangkan dalam purana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu
mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu
Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di
Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.
Demikian pula
dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana. Hanya satu
prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran,
tahun Isaka 938/1016 Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam
Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi,
dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana
mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri Marakata
berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu.
Sedangkan dalam
prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa
bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya
seorang dewi yang mahir dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang
ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya
Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis. Raja ini dimakamkan di
Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini
menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu
gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain
dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.
Begitu pula Raja
Patih Kebo Parud dengan Raja Patih Sri Jayakatong adik kandung dari Sri Pasung
Gerigis. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka 1218/1296 Masehi dan prasasti
Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Patih
Makakasir Kebo Parud, berisikan persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang
terletak di perbatasan Balingkang. Sedangkan menurut buku Negarakertagama
dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja Kertanegara telah menyerang Bali dan
rajanya ditawan. Sayang sekali dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan
siapa nama raja Bali itu. Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara
ingin mengusai Bali yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah Raja
Patih Kebo Parud. Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318
Masehi, Sri Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan
Pura Gaduh, Blahbatuh. Setelah raja patih Sri Jaya Katong yang menjadi raja
adalah Sri Taruna Jaya, Sri Masula-Masuli dan Sri Astasura Ratna Bumi Banten,
raja akhir Bali Kuno.
Dari acuan di atas secara tegas menyebutkan yang menjadi pimpinan
pemerintahan saat itu seorang Patih atau seorang Senapati bawahan raja yang
mewakili dikeluarkannya prasasti tersebut diatas. Dalam skema silsilah Sri
Karang Buncing bahwa Raja Patih Kebo Parud menjadi pucuk pimpinan setelah raja
Sri Indracakru yang disebut juga Sri Sidhimatra, nama sama dengan sang ayah
setelah menjalani hidup suci. Raja Sri Indracakru menggantikan kakaknya yaitu Sri
Dewa Lancana. Dimana putra dari Sri Dewa Lencana yaitu Sri Taruna Jaya masih
kecil yang semestinya menggantikan ayahnya. Karena kesenangan Sri Indracakru
(Sri Sidhimantra) melakukan hidup suci mengikuti jejak para leluhur sebelumnya.
Untuk menjalani roda pemerintahan diwakili oleh putranya yang nomor dua yaitu
Sri Jaya Katong. Yang kemungkinan tatkala menduduki tapuk pemerintahan Sri Jaya
Katong diberi gelar Raja Patih Makakasir Kebo Parud. Setelah Sri Taruna Jaya
cukup umur untuk menjadi raja maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci
dengan mendirikan Pura Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal
bakal berdirinya kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya istana baru,
dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara, disebut
kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi nama kota Singaraja. Perkembangan
selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu dan
Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa merupakan
anak didik dari Sri Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa.
Dimana beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari
kerajaan Singosari. Yang dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali
adalah penyebaran paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham
Bhairawa sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima
di Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung
kepala) di Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang
tersebar di wilayah Gianyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan disebutkan Arca
Pangulu maka lingganira hyang wawudateng artinya patung kepala
merupakan simbol suci tuhan ajaran baru era itu.
Begitu pula dengan
nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di
Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan
oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), satu-satunya
prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi
untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.
Tetapi dalam Piagem
Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lencana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul
Sri Taruna Jaya menurunkan putra buncing (kembar laki
perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli (Prabhu buncing). Dalam Purana Bali Dwipa
muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri Masuli
menjadi raja Bali tahun 1324 Masehi. Sri Jayasunu satupun tidak mengeluarkan
prasasti sebagai mana raja yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti
Siwasasana ning Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan, muncul nama Sri
Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan
beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi
pedoman awal dalam penulisan.
Salinan lontar Aji
Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas
tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu?
Siapakah orang tua Sri Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder
(1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi
Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya
prasasti-prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat
kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali Kuno. Yang dimaksud
keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah turunan dari Sri Jayasakti nama
lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119
Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri
Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lencana, menurunkan
putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya
juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri
Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik
dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan
dan Piagem Dukuh Gamongan. Demikian juga dengan putra dari Sri Jayasunu
yaitu Sri Masula-Sri Masuli, dalam prasasti satu pun tidak ada disebutkan atas
nama Sri Masula-Sri Masuli, dalam purana Bali Dwipa setelah menjadi raja beliau
disebut Bhatara Mahaguru Dharma Hutungga Warmmadewa.
Demikian juga
dengan putra Sri Masula Masuli yaitu Sri Tapa Hulung nama lain Sri Batu Ireng
setelah menjadi raja bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten, menjadi raja Bali
tahun Isaka 1250/1328 Masehi, nama kerajaan Batahanar. Jikalau data awal
penulisan bersumber dari Purana dan Babad, maka nama Sri Batu Ireng atau Sri
Tapa Hulung satu pun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagaimana layaknya
raja-raja yang lain.
Demikian juga
dengan Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang dikenal
masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa
akhir Bali Kuno. Ia digambarkan seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah
perkasa serta sakti. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh,
sebelah baratdaya kota Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal
juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno
sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai
mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.
Secara administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka
1259/1337 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten,
terdapat beberapa senapati (mahapatih) kerajaan yang menyaksikan dikeluarkannya
prasasti dikala itu, antara lain, senapati kuturan makakasir mabasa sinom(sang
mahapatih di wilayah kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang
senapati sarbwa makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir
jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa
senapati lainnya.
- Kebo Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanar dan Blahbatuh
- Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran
- Ki Bwahan di Batur Si Tunjung Tutur di Tenganan
- Ki Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di jagat Bali.
Sedangkan dalam purana, prakempa, babad,
pamancangah, lainnya Kbo Iwa adalah mahapatih kerajaan Badhahulu.
Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi sebutanbhatara
amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti, bhatara guru, dan
sebagainya.
Demikian juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb
wangsa (menutup asal usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat
ada menyebut, arya karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang
buncing, pasek karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa
karang buncing, arya kedi dan soroh karang, lainnya.
Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah
Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang
bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini terlihat
berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti
tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan
tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang
mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan, serta asal
asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila
hanya purana, piagem, babad, prakempa, pemancangah yang dipakai
pedoman dalam penulisan awal sejarah Bali tanpa didukung data sejarah yang
dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam
arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada
zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.
Sri Kbo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama
samar, tergantung masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang
mana, apakah kisah kehidupannya mau dimitoskan, dilecehkan, dipolitisir,
dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya, tentunya akan
berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang perjalanan sejarah
Bali.
Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti, Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah lainnya, berikut:
- Sri Kesari Warmmadewa (isaka 804-835)
- Sri Ugrasena (isaka837-858)
- Sri Haji Tabanendra Warmmadewa (877-889).
- Sri Jaya Singa Warmmadewa(isaka 892).
- Sri Janasadhu Warmmadewa(isaka 897).
- Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).
- Sri Dharmodayana Mahendradata (isaka 911-933).
- Sri Sang Ajnadewi (isaka 938)
- Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).
- Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).
- Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).
- Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).
- Sri Suradhipa (isaka 1037-1041).
- Sri Jayasakti (isaka 1055-1072).
- Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).
- Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).
- Sri Maharaja Haji Jayapangus (isaka 1099-1103).
- Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).
- Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).
- Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-).
- Sri Indra Cakru (isaka 1172).
- Rajapatih Makakasir Kebo Parud (isaka1206-1214).
- Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1214-1218).
- Sri Taruna Jaya (isaka 1226).
- Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).
- Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).
- Expansi Majapahit (isaka 1265/1343 M).
- Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).
- Dalem Samprangan (isaka 1272).
- Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).
- Dalem Waturenggong (isaka 1382).
Om Swastyastu Umaseh, matur suksma sampun berbagi informasi mengenai asal usul leluhur kami sri karang buncing ,, moga bermanfaat bagi pustaka bali kedepan ,, rahayu
BalasHapusmewali...
BalasHapusdi blog niki tyg kan coba mencari garis penghubung antar babad yg sering kali putus... mohon masukannya
singamadawa ring singaraja niki napi rujukan nya jero...???indayng icen pewarah.. sukseme sedurung nyane....
BalasHapusijin share okey ttg sejarah bali
BalasHapushttp://www.marketingkita.com/2017/08/distributor-mencari-produsen-menurut-ilmu-marketing.html