Google+

Babad Mengwi Puri Karangenjung

Perjalanan Puri Karangenjung

Sri Nararya Kresna Kepakisan adalah Arya ing Kediri (Aryeng Kediri) anak dari Sri Sastra Jaya, raja Kediri yang memerintah tahun 1258 – 1271 M. Sebagai Kerajaan taklukan Majapahit, maka gelar-gelar seperti yang dipakai oleh para leluhurnya (Erlangga dan raja berikutnya) sudah barang tentu tidak boleh digunakan lagi. 

Gelar Sri Nararya yang disandangnya adalah juga pencerminan kalau beliau adalah keturunan Raja Kediri. 

  • Sri adalah merupakan cerminan gelar para Raja Kediri sebagai leluhur beliau. 
  • Nararya berarti yang mulia diantara orang-orang atau keturunan raja. 
  • Arya berarti terhormat, terpandang, mulia atau ningrat. (Suhardana, 2005 : 34).

Pada waktu Dalem memegang tampuk pemerintahan di Bali bangsawan yang paling penting adalah patih, yakni tangan kanan dan sekaligus penasehat Dalem. Semua patih berasal dari keturunan Klan Arya Kepakisan dan di dalam hirarki mereka menduduki posisi kedua ; hanya Dalem dari Gelgel saja yang menjadi atasan mereka. Raja-raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis keturunannya kedalam klan Arya Kepakisan ini (Henk Schulte Nordholt, 2006 : 24 – 25).

Sri Nararya Kresna Kepakisan mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama:

  1. Pangeran Nyuhaya (Kiayi Agung Nyuh Aya) dan 
  2. Pangeran Made Asak.


Pangeran Nyuhaya mempunyai dua orang istri 
dari istri pertama lahir : 

  1. Kiyai Petandakan, 
  2. Kiyai Satra, 
  3. Kiyai Pelangan, 
  4. Kiyai Akah, 
  5. Kiyai Keloping, 
  6. Kiyai Cacaran, 
  7. Kiayi Anggan dan 
  8. Kiayi Ayu Adi (wanita). 

Sedangkan dari istri kedua lahir : 

  1. I Gusti Wayahan Nyuhaya, 
  2. I Gusti Nengah Nyuhaya dan 
  3. I Gusti Ketut Nyuhaya. 


Kisah selanjutnya tidak diceritakan disini karena tema pembicaraan lebih dipusatkan kepada pangeran Made Asak yang menurunkan pasemetonan yang tergabung dalam wadah Swa Wandawa Sembung Karangjung.

Pangeran Made Asak dalam perjalanan sejarahnya diceritakan sebagai orang yang senang mengembara. Ada dua versi tentang kebiasaan Pangeran Made Asak senang mengembara:

  • Pertama karena memang ada tugas khusus dari raja untuk mengetahui aspirasi masyarakat dan para raja di Bali mengenai kesetiaannya kepada Majapahit. 
  • Kedua karena memang tidak ada kecocokan antara Pangeran Made Asak dengan kakaknya Pangeran Nyuhaya.

Pengembaraan Pangeran Made Asak telah mengantarkan dirinya sampai ke desa Kapal. Disini beliau menikah dengan seorang putri dari Patih Tuwa pangeran Kapal dan di karunia seorang putra bernama:

  • Kiayi Dhiler, atau dikenal pula dengan nama Krian Dukuh atau Krian Dauh Nginte (Krian Agung Manginte) yang kemudian menjadi perdana Menteri (Patih Agung) Dalem Pemayun Bekung dan Dalem Dimade di Gelgel (sekitar tahun 1550-1580). 

Dari perkawinannya dengan putri Patih Tuwa Pangeran Kapal, lahirlah dua orang putra masing-masing bernama:

  • Kiyai Agung Widhia dan 
  • Kiyai Kaler Pranawa (Gusti Kaler Pranawa)

Keturunan Pangeran Made Asak ini rupanya tidak pernah terhindar dari peperangan-peperangan. Mulai dari Krian Dauh Nginte yang berhasil menjadi Perdana Mentri Dalem Pemayun melalui perang sengit menghadapi patih sebelumnya Kiyai Agung Batanjeruk. Jabatan patih Agung kemudian dipegang oleh putra Kyai Agung Manginte yang bernama Kiyai Agung Widia, sedangkan adiknya Kiayi Kaler Pranawa diangkat sebagai Demung. 
Kiyai Agung Widia mempunyai delapan putra, masing-masing bernama : 

  • Kiayi Agung Kidung (Bekung) yang kemudian menjadi Patih Agung menggantikan ayahnya, 
  • Kiayi Kalanganyar, 
  • Kiayi Batulepang, 
  • Kiayai Basang Tamiang, 
  • Kiayai Karang Amla, 
  • Kiayai Istri Bakas, 
  • Kiayai Istri Kacang Pawos, 
  • Kiayai Istri Rimba.

Sedangkan Kiyai Kaler Pranawa mempunyai empat belas orang putra-putri, masing-masing : 

  • Kiyai Panida (kemudian menggantikannya menjadi Demung), 
  • Kiayai Wayahan Kamasan, 
  • Kiyai Sibetan, 
  • Kiyai Sampalan, 
  • Kiyai Tambesi, 
  • Kiyai Teges, 
  • Kiyai Ubud, 
  • Kiyai Basangkasa dan 
  • lima orang putri lainnya yang masing-masing menikah dengan Dalem, menikah ke sidemen, ke Sukaret, ke Bontiris dan Kubu Tambahan.

Begitulah generasi Kiyai Made Asak ke generasi berikutnya terus berlanjut sampai kemudian salah seorang diantaranya yaitu Kyai Agung Dimade merebut kekuasaan terhadap raja Gelgel yang kemudian menobatkan dirinya dengan gelar I Gusti Agung Maruti. 

Perebutan kekuasaan terpaksa dilakukan karena melihat lemahnya pemerintahan Dalem dan kehidupan rakyat yang semakin menderita serta persaingan pengaruh terhadap raja dikalangan pejabat tinggi kerajaan.

Tapi kudeta harus pula ditebus dengan kudeta. Kekuasaan I Gusti Agung Maruti akhirnya tergusur melalui perebutan kekuasaan kembali oleh Dalem yang dilakukan I Gusti Agung Jambe Putra Bungsu Dalem Dimade.

Melalui pertempuran sengit, pasukan I Gusti Agung Jambe yang dibantu oleh laskar Sidemen, Buleleng, Badung, Taman Bali dan lain-lain akhirnya berhasil menyingkirkan I Gusti Agung Maruti dan keluarganya. Sejak saat itu pula pusat kerajaan yang tadinya berada di Gelgel dipindahkan ke Semarapura. Akibat perebutan kekuasaan tersebut I Gusti Agung Maruti yang sempat memerintah selama 30 tahun (1656-1686) merelakan saudara-saudara dan para pendukungnya melarikan diri bercerai berai tidak menentu. Banyak terpaksa melepas gelar kebangsawanannya (nyineb wangsa) untuk tidak dikenali oleh pengikut Dalem. Mereka tersebar kemana-mana, ada yang ke Jimbaran, Desa Sayan, Suwung, Batuyang, Kapal, Keramas, Celuk Penebel, Klungkung, Buleleng, Gianyar dan lain-lain.

Rupanya derita itu akhirnya membawa nikmat juga karena keturunan I Gusti Agung Maruti pula kemudian yang menjadi cikal bakal kelahiran:

  • kerajaan Mengwi (I Gusti Agung Made Agung), 
  • Puri Keramas ( I Gusti Agung Putu Agung).

Ada kisah menarik dari tokoh I Gusti Agung Putu Agung dan I Gusti Agung Made Agung ini.

Dalam babad Mengwi diceritakan bahwa I Gusti Agung Putu Agung memiliki adik masing-masing bernama I Gusti Istri Ayu Made dan I Gusti Agung Made Agung. Versi lain menyebutkan beliau empat bersaudara yaitu saudara perempuan terkecil bernama I Gusti Agung Istri sasih menikah dengan Brahmana Kemenuh. 

I Gusti Istri Ayu Made terkena sakit bingung, tidak tahu akan dunia dan Puri Keramas. Banyak para ahli obat datang memberikan pertolongan tetapi tidak ada yang mampu mengobatinya. 

Mendengar keadaan ini lalu I Gusti Agung Made Agung yang pada waktu itu berkuasa di Kapal, meminta ijin agar kakaknya itu bisa diobati ke Kapal. Dengan seijin kakaknya itu pula lalu I Gusti Istri Made diajak ke Kapal untuk selanjutnya dimohonkan bantuan pengobatan kepada seorang Bhiksu sang pandhya Wanasara. 

Dengan kemampuan sang Pandita ini pula, I Gusti Istri Ayu Made dapat disembuhkan. Namun setiap kali sang Pandita pergi meninggalkan tempat, penyakit I Gusti Istri Ayu Made selalu saja kambuh lagi. Akhirnya dengan persetujuan I Gusti Agung Made Agung, sang Pandhita dinikahkan dengan I Gusti Istri Ayu Made. Sejak itu pula penyakit I Gusti Istri Ayu Made tidak pernah kambuh lagi bahkan mereka tampak hidup rukun dan bahagia. 

Tapi sayang, I Gusti Agung Putu yang mendapat khabar gembira itu merasa sangat tersinggung berat dan sangat marah karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya sama sekali kepada beliau. Kemarahan yang memuncak dan tidak terkendalikan itu berakibat fatal dengan dibunuhnya sang pandita oleh I Gusti Agung Putu yang berkuasa di Keramas. Akibatnya Sang Pandita sebelum sampai ajalnya mengeluarkan kutukan yang antara lain berisi bahwa
I Gusti Agung Putu sampai turunannya tidak akan pernah bisa menjadi raja karena membunuh pendeta yang tidak berdosa. 
Disamping itu kepada I Gusti Agung Made Agung dan turunannya terkena pula kutukan"
terkena sakit gila yang tidak habis-habisnya, karena mempersembahkan adiknya kepada pandita waktu sakit gila. 
Kematian sang pandita tentu saja membuat rasa terkejut yang sangat dalam di hati I Gusti Agung Made Agung. Rasa duka yang sangat dalam dari I Gusti Agung Made Agung menyebabkan pula beliau berikrar bahwa sejak saat itu tali persaudaraan dengan I Gusti Agung Putu terputus sama sekali dan keturunan I Gusti Agung Made Agung yang perempuan tidak lagi diperkenankan memakai nama Made seperti yang dimiliki oleh I Gusti Istri Ayu Made (Babad Mengwi, 2002:27-33).

Kembali mengenai I Gusti Agung Made Agung, dari perkawinannya dengan Ni Gusti Luh Bengkel putri dari Kiyai Bebengan kemudian melahirkan seorang putra yang bernama 

  • I Gusti Agung Putu. 


Dalam kisah selanjutnya, I Gusti Agung Putu sempat dikalahkan dalam sebuah peperangan ketika menghadapi I Gusti Batu Tumpeng yang tinggal di desa Kekeran. I Gusti Agung Putu sempat ditawan dan diserahkan kepada penguasa di Tabanan. Namun tak lama kemudian, I Gusti Agung putu diserahkan kepada penguasa di Marga. 

Dengan segala suka duka dan romantika kehidupannya, kemudian I Gusti Agung Putu berhasil kembali bangkit dan menundukkan satu demi satu wilayah yang sempat pernah dikuasai sebelum kekalahannya melawan I Gusti Batu Tumpeng. 
Bahkan perang tanding melawan Pasek Badak dari Buduk dengan mempertaruhkan negerinya dan rakyatnya masing-masing sempat dimenangkan I Gusti Agung Putu. Begitu luasnya kekuasan beliau (sampai ke Blambangan Jawa Timur), lalu beliau di beri gelar I Gusti Agung Ngurah Agung Bima Sakti (Cokorda Sakti Blambangan) dan dinobatkan sebagai raja Mengwi I. 
Beliau mempunyai beberapa orang istri, masing-masing bernama:
dari I Gusti Ayu Pandji memiliki dua orang putra yaitu:

  1. I Gusti Agung Ratu Pandji dan 
  2. I Gusti Agung Ketut Buleleng

dari Ni Gusti Luh Pacung memiliki putra:

  1. I Gusti Agung Pacung dan 
  2. I Gusti Agung Ayu Pacung)

dari I Gusti Luh Kamasan memiliki putra angkat:

  • I Gusti Agung Made Kamasan

dari I Gusti Luh Penarungan memiliki putra:

  • I Gusti Agung Wayan Penarungan

dari I Gusti Luh Mambal memiliki putra:

  1. I Gusti Agung Made Mambal dan 
  2. I Gusti Agung Ketut Lebah

dari I Gusti Luh Toya Anyar memiliki putra:

  1. I Gusti Agung Made Banyuning, berperan di Desa Sayan yang kemudian pindah ke Bongkasa dan 
  2. I Gusti Agung Ayu Suci yang dijodohkan dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (terkenal pula dengan nama I Gusti Agung Gede Jelantik, seorang putra Raja Karangasem keturunan Pangeran Nyuh Aya). 

dari permaisuri yang ketujuh yaitu I Gusti Luh Alangkajeng memiliki putra:

  1. I Gusti Agung Ayu Alangkajeng, 
  2. I Gusti Agung Made Alangkajeng dan 
  3. I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng.

Dari ketujuh orang istri dengan 13 orang putra/ putri tersebut, salah seorang diantaranya adalah I Gusti Agung Ayu Suci, putri Cokorda Sakti Blambangan raja Mengwi dari hasil perkawinannya dengan I Gusti Luh Toya Anyar (Keturunan Arya Gajah Para). I Gusti Agung Ayu Suci seperti telah disinggung diatas, mempunyai seorang saudara laki-laki dari satu ibu yang bernama I Gusti Agung Made Banyuning.

Sebagai seorang wanita, I Gusti Agung Ayu Suci dijodohkan dengan putra raja Karangasem yang bernama I Gusti Agung Wayahan Dawan atau sering pula dikenal dengan nama I Gusti Agung Gede Jelantik, dengan status nyentana

Sebagai sama-sama keturunan Sri Naraya Kresna Kepakisan (I Gusti Agung Ayu Suci, keturunan Pangeran Asak dan I Gusti Agung Wayahan Dawan keturunan Pangeran Nyuh Aya). Hal seperti ini sudah lumrah dilakukan dalam adat perkawinan umat Hindu. Disamping untuk memperkuat jalinan tali persaudaraan, pada masa jaman kerajaan perkawinan seperti ini akan dapat lebih memperkokoh kekuasaan para raja untuk tidak saling serang menyerang.

Sebagai seorang anak raja yang berstatus purusa, I Gusti Agung Ayu Suci juga memperoleh daerah kekuasaan dari ayahandanya raja Mengwi, berupa wilayah kerajaan di desa Kengetan dengan iringan rakyat sebanyak 500 orang.

Pemerintahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Gede Jelantik), di Kengetan sangatlah makmur, damai dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Hal ini bisa dimengerti karena I Gusti Agung Wayahan Dawan sebagai seorang pendamping raja adalah seorang figur yang sangat menguasai masalah pemerintahan dan masalah agama.

Dari pernikahan I Gusti Agung Ayu Suci dengan I Gusti Agung Wayahan Dawan (I Gusti Agung Gede Jelantik) lahirlah tiga orang putra masing-masing bernama:

  1. I Gusti Agung Putu Kaler yang kemudian diberikan kedudukan di Katiklantang (Jukut Paku) yang kemudian sempat diselong (hukum pengucilan) ke Nusa Penida dan kemudian menetap dan menurunkan keturunannya di Puri Karangjung, Puri Nyelati dan Kuwum.
  2. I Gusti Agung Made Griya yang kemudian menggantikan kekuasaan beliau di Kengetan dan sempat melarikan diri mengungsi ke Sanur, Cemenggon-Penarungan untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Sembung. 
  3. I Gusti Agung Gede Samu diberi kedudukan di Samu dan kemudian sempat mengungsi akibat Uwug Kengetan ke Banjar Samu untuk kemudian menurunkan keturunannya di Puri Banjar Samu dan Sigaran.

Tercerai berainya ketiga keturunan beliau yang ada di Kengetan, Katiklantang dan Samu terkait erat dengan peristiwa pada masa hancurnya pemerintahan di Kengetan. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan I Gusti Agung Putu Kengetan di Kengetan dan I Gusti Agung Putu Kaler di Katiklantang serta I Gusti Agung Made Jelantik di Samu (pada masa pemerintahan generasi ke empat dari I Gusti Agung Ayu Suci dan I Gusti Agung Wayakan Dawan.

hancurnya (uwug) Puri Kengetan

Diceritakan Ida I Gusti Agung Wayahan Dawan, sesudah beliau menetap berstana di Kengetan, ditetapkan menjadi bahu danda oleh Shri Aji Manguraja. Disebabkan oleh kemahiran beliau dalam bidang perundang-undangan, seperti Rajaniti, jadinya tidak ragu-ragu beliau memerintah Negeri. Itulah sebabnya maka rakyat semua taat dan cinta kepada beliau. Sekali saja beliau mengeluarkan perintah, segalanya beres.

Sesudah beberapa lama kedudukan di Kengetan, maka beliau memperoleh putera tiga orang, yang sulung bernama I Gusti Agung Putu Kaler, yang menengah I Gusti Agung Made Geriya, dan yang bungsu diberi nama I Gusti Agung Gde Samu.

Sesudah mereka ini menanjak Dewasa, adalah minat dari ayah beliau akan memberikan kedudukan kepada mereka itu disertai wadua (pengiring).

  • I Gusti Agung Gde Samu diberi kedudukan di desa Samu, dan diberi wadua seratus lima puluh orang. 
  • I Gusti Agung Putu Kaler berkedudukan di desa Katiklantang, diberi wadua seratus orang. 
  • I Gusti Agung Made Geriya tetap berkuasa di Kengetan, sebagai pengganti ayah beliau. 
I Gusti Agung Gde Samu : Entah beberapa lama beliau bermukim di Desa Samu, maka beliau memperoleh putera seorang, bernama


  • I Gusti Agung Nyoman Jelantik. 

I Gusti Agung Made Geriya berputera:

  • I Gusti Agung Nyoman Kengetan. 

I Gusti Agung Putu Kaler berputeran seorang bernama

  • I Gusti Agung Ketut Jelantik.

I Gusti Agung Ketut Jelantik menurunkan:

  • I Gusti Agung Gde Jelantik, tetapi malang belaiu ini tidak paham huruf. 

I Gusti Agung Gde Jelantik menurunkan putera yang bernama : 

  • I Gusti Agung Putu Kaler,
  • I Gusti Agung Made Geriya, dan 
  • I Gusti Agung Nyoman Jelantik. 

I Gusti Agung Nyoman Kengetan menurunkan 

  • I Gusti Agung Made Penidha. 

I Gusti Agung Nyoman Jelantik di Desa Samu berputera 

  • I Gusti Agung Gde Samu,

I Gusti Agung Gde Samu menurunkan 

  • I Gusti Agung Made Jelantik. 

I Gusti Agung Made Penidha di Kengetan mempunyai dua orang putera yang bernama : 

  • I Gusti Agung Ketut Geriya,
  • I Gusti Agung Putu Kengetan.

Entah telah berapa lamanya maka wafatlah I Gusti Agung Gde Jelantik, I Gusti Agung Made Penidha dan I Gusti Agung Made Samu. Mereka berpulang ke alam baka, menuju sorganya masing-masing sudah diadakan pula upacara pitera yadnya sebagaimana mestinya, dibakar jenazahnya di kuburan, beserta alat-alatnya, melalui upacara pitra yadnya yang diselenggarakan oleh para keturunan beliau dengan baik.

Sekarang diceritakan raja di Gianyar sangat berkeinginan akan menaklukan negara-negara. Kengetan, Samu dan Katiklantang. Beliau mengutus petugas-petugas beliau dengan membawa surat, ditujukan kepada mereka yang berkuasa di Kangetan, Samu dan Katiklantang. Maksud surat itu ialah agar ketiga beliau yang berkuasa di kerajaan tersebut ingkar bakti kepada Raja di Manguraja (Mengwi) dan hendaknya berkenan berbaik dengan Raja Gianyar.

Sekarang marilah kita ceritakan kembali mereka yang bersemayam di Kengetan, Samu dan Katiklantang. Setelah beliau – beliau itu menerima surat dari Raja Gianyar tersebut, dan setelah membaca dan mengetahui maksudnya, maka beliau yang bersemayam di Kangetan dan Samu segeralah membuat surat balasan yang isinya, bahwa mereka itu tidak menyetujui permintaan Raja Gianyar, walaupun kerajaan beliau akan menjadi kubangan budak. Sedangkan beliau yang bersemayam di Katiklantang tidaklah memberikan jawaban dengan surat, melainkan menjawabnya hanya secara lisan belaka, yang menegaskan bahwa beliau tidak sudi menyetujui permintaan Raja Gianyar dimaksud.

Tidak diceriterakan beliau yang berkuasa di Katiklantang, sekarang tersebutlah ada seorang wangsa wesya bertempat tinggal di Katiklantang. Orang itu mengetahui hal-ikhwal yang berkuasa di Katiklantang telah menerima surat dari Raja Gianyar; maka segeralah ia menghadap Raja Manguraja (Mengwi), memaklumkan hal-hal yang menyangkut diri yang berkuasa di Katiklantang itu.

Setelah itu maka bangkitlah murka Raja Manguraja, lalu memerintahkan memukul kentongan dengan maksud akan menghancurkan desa Katik lantang. Setelah amarahnya tak tertahan lagi, maka berangkatlah menuju desa Katiklantang, dan setelah digeledah puri di Katiklantang, maka kedapatanlah surat bersangkutan diparba tempat peraduan yang berkuasa di Katiklantang. Setelah diserahkan kepada yang berkuasa di Mangaraja, maka beliau memerintahkan untuk mengusir yang berkuasa di Katiklantang ke Nusa Panida. Sekarang Si Wesya inilah diangkat untuk bertugas di desa Katiklantang.

Entah sudah berapa lamanya, I Gusti Agung Putu Kaler, I Gusti Agung Made Geriya dan I Gusti Agung Nyoman Djelantik beserta sanak keluarga beliau berada di Nusa Panida, beliau meninggalkan putera dua orang, (peria dan wanita), bernama:

  • I Gusti Agung Kompiang Geriya dan
  • I Gusti Agung Ayu Karang.

Konon tersebutlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Ketut Geriya dan I Gusti Agung Made Jelantik, demikian pula wesya yang bertugas di Katik Lantang, kebetulan mereka itu mengadakan pertemuan dengan para pembantu pembantunya, tiba-tiba datanglah pelarian-pelarian, yaitu orang-orang dari perbatasan negerinya, dengan mempermaklumkan, bahwa perajurit Gianyar sedang mengurung negara beliau itu, lengkap dengan senjata, perbekalan dan kendaraan.

Maka gemparlah beliau-beliau yang menguasai masing-masing desa itu, serta memerintahkan memalu kentongan dan mengerahkan rakyat, sebab maksud beliau lekas-lekas menghalau sateru.

Tidak diceritakan malam itu, maka setelah fajar menyingsing di ufuk timur, berangkatlah I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik serta yang bertugas di Katiklantang, dengan habis-habisan rakyat mengiring, lalu mereka mulai berperang, luar biasa ramainya, kejar – mengejar, mati-dimatikan, dan sama-sama banyak yang mati dan luka.

Karenanya, undurlah bala Kengetan, Samu dan Katiklantang, payah serta mengendap-endap dan dibiarkan oleh I Gusti Agung Putu Kengetan, I Gusti Agung Made Jelantik, dan yang bertugas di Katiklantang, yang sama-sama maju kedepan mengamuk menyerbu musuh, dan ramailah peperangan itu, sama-sama tidak mempan oleh senjata, apalagi I Gusti Agung Putu Kengetan dan I Gusti Agung Made Jelantik, sama-sama tangkas-cekatan dalam peperangan, demikian pula sangat perkasanya yang bertugas di Katiklantang.

Oleh karena kebanyakan lawan, maka terdesaklah ketiga pahlawan itu dalam pertempuran, ditinggalkan oleh para perajuritnya, semuanya sama-sama mundur, tidak dapat ditahan lagi, lari tunggang langgang, sama-sama menuju kebelakang atau ke desa-desa lain.

  • I Gusti Agung Putu Kengetan menghindarkan diri menuju ke Desa Sanur, menumpang pada tempat kediaman wangsa Berahmana di Buruan.
  • I Gusti Agung Ketut Geriya menuju desa Cemenggon Penarungan, 
  • I Gusti Agung Made Jelantik menuju ke dusun Banjar Samu, diikuti oleh orang-orangnya yang masih hidup. Penguasa di Katiklantang ke Karangenjung-Sembung.

Kembali dilanjutkan apa yang diceritakan di depan, setelah mangkatnya I Gusti Agung Made Geriya di Nusa Penida, beliau meninggalkan dua orang putera, yang sulung bernama I Gusti Agung Kompiang Geriya, yang bungsu bernama I Gusti Agung Ayu Karang.

Tersebutlah I Gusti Agung Putu Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan putera-puteranya; beliau itu sangat bersedih di dalam hati, karena dibuang di Nusa Penida; sebab itu beliau bersama-sama bermusyawarah, tidak lain yang dibicarakan, hanyalah keinginan beliau akan meninggalkan Nusa Penida. Maka pada suatu tengah malam, beliau bersama-sama menuju ke pantai laut; hanya I Gusti Agung Kompiang Geriya tinggal disana. Setiba mereka di tepi laut, maka berjumpalah beliu dengan seorang pelaut, yang membawa perahu pemancing ikan.

Maka bersabdalah I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik dengan halus dan lemah lembut, minta bantuan agar beliau diantar sampai di desa Kusamba. Pelaut itu menerima baik permintaan itu.

Setelah tiba dipantai Kusamba, maka I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berkenan memberikan ganjaran kepada nelayan itu. Apakah ganjaran beliau itu?

Tidak lain diajarkan japa mantram untuk memberi pasu pati (tuah) atas pancing dan “penguncur mina”. Maka bersujud dan berterima kasihlah pelaut itu.

Setelah itu maka I Gusti Agung Kaler beserta I Gusti Agung Nyoman Jelantik serta sanak keluarga beliau sekaliannya berangkat menju ibu kota Swecalinggarsa Pura.

Entah berapa lama beliau-beliau itu berdiam disana, maka I Gusti Agung Ayu Karang diperisteri oleh seorang bangsa Satriya Sukahat, yang kemudian menurunkan

  • Ki Dewa Sabug.

Entah berapa lama berduka cita hatinya I Gusti Agung Putu Kaler serta I Gusti Agung Nyoman Jelantik berada di Swecalinggarsa itu, maka berangkatlah beliau bersama-sama dari sana menuju ke barat, dan sampailah beliau-beliau itu di desa Balahayu, dan di sanalah beliau mencari kawan tak lain kepada yang berkuasa di situ.

Sesudah beberapa hari lamanya, maka menghadaplah yang berkuasa di Balahayu kepada raja di Mangaraja, untuk mempermaklumkan perihalnya I Gusti Putu Kaler dan I Gusti Agung Nyoman Jelantik mengungsi di sana.

Setelah itu maka raja mengirim utusan untuk menghabiskan nyawa keduanya itu.

Tidak disebutkan maka sekarang telah terbunuhlah mereka yang mengharapkan pertolongan itu di sebelah Selatan Desa Balahayu, di pinggir sungai Sungi, berdekatan dengan tempat persembahyangan Pura Tungkub, dan dimakamkan di sana.

Demikianlah, sekarang marilah diceritakan setelah wafatnya I Gusti Agung Putu Kaler; adalah beliau meninggalkan seorang putera yang masih kecil yang sangat tampan parasnya, bernama 

  • I Gusti Agung Nyoman Sengguan, 

sangat kasih sayanglah yang berkuasa di Balahayu kepada anak kecil itu, lalu dimohonnyalah kepada yang bertahta di Mangaraja, agar diperkenankan anak itu terus hidup, hal mana dapat perkenan dari raja.

Sesudah beliau Dewasa, lalu beliau mencari tempat tinggal, yaitu di desa Kerangenjung-Sembung.

Sekarang beralih ke I Gusti Agung Ketut Adi, putera dari I Gusti Agung Putu Kangetan, yang bersembunyi di Sanur. Beliau sekarang mencari tempat tinggal di lingkungan desa sembung.

Setelah tetap kedudukan beliau-beliau itu di Karangenjung dan Sembung tersebutlah Raja Mangaraja bermusuhan dengan beliau yang berkuasa di Wratmara; Maka tersebutlah I Gusti Agung Kompiang Geriya, putera dari I Gusti Agung Made Geriya yang telah wafat di Nusa Penida, datang sujud menghadap kepada Raja Semarapura, serta beliau berdatang sembah dengan harum manis, sembah beliau :
"Maaf duli Tuanku, oleh karena Sri Paduka Tuanku sekarang dalam peperangan dengan yang berkuasa di Marga, sekarang sudi apalah kiranya Sri Paduka Tuanku mengorbankan jiwa-ragaku si Geriya ini di medan laga. Permohonan hamba hanyalah, sudi kiranya meninjau/menyaksikan perbuatan hamba. Di kala hamba Paduka Tuanku gugur di medan bukti, permohonan hamba Tuanku hanyalah agar sanak keluarga hamba yang berada di Karangjung-Sembung dan Banjar Samu, sudi Paduka Tuanku mengampuni karena kekurangnnya"

Maka berkenanlah Sri Baginda Raja Semararaja, dan segeralah I Gusti Agung Kompiang Geriya menyerbu ke dalam peperangan dengan tak menoleh kanan-kiri, dengan bersenjatakan keris Si Baru Kandik, entah berapa lawan yang telah terbunuh oleh beliau. Oleh karena banyaknya lawan, maka terdesaklah beliau di desa Bugbugan, serta terbunuh dengan pusaka kawitan di Wratmara, dan dipenggal leher beliau serta kepala beliau dipersembahkan kepada Kyayi Anglurah Tabanan, dan digantungkan di tengah-tengah kuburan di sana. Beliau itulah digelari sebutan Betara Rana di Bugbugan hingga kini.
demikianlah sekilas Babad Mengwi tentang awal berdirinya Puri Karangenjung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar