Google+

Cara memilih hari baik ala nak bali

Cara memilih hari baik ala nak bali

kalender bali wariga
kalender bali
Cara memilih hari baik menurut tradisi di bali didasarkan pada perhitungan wariga dan dewasa. adapun perhitungannya lumayan rumit, sehingga jarang masyarakat bali yang hafal cara menggunakan wariga dan dewasa tersebut. tapi untunglah, dengan kelihaian seseorang dalam perhitungan wariga dan dewasa beliau menyusun wariga yang dimodifikasi kalender internasional yang kemudian dikenal dengan kalender bali yang sering dipakai masyarakat bali saat ini. orang tersebut adalah (alm.) Bambang Gde Rawi, kelahiran desa cemengon, yang penyusunan kalender tersebut diwariskan kepada keluarga beliau.
dalam setiap bulannya, kalender bali umumnya terdiriatas beberapa bagian penting, diantaranya;
  1. bagian kepala; yang berisi Nama Bulan dan Tahun (seperti normalnya kalender internasional) 
  2. badannya; berisikan tanggalan (seperti kalender internasional) dan beberapa tanda, diantaranya; Titik merah artinya Bulan Purnama, Titik Hitam artinya Bulan Tilem/Mati; lingkaran merah artinya hari raya besar agama hindu dan tanggal merah untuk hari libur nasional. 
  3. bagian lengan kanan; berisikan daftar istilah wariga berdasarkan tanggal, yang berisikan juga keterangan hari-hari baik melakukan kegiatan/usaha/yadnya. 
  4. bagian lengan kiri; berisikan nama-nama hari 
  5. bagian kaki; berisikan daftar hari raya agama, daftar Odalan/upacara pura-pura besar di bali serta beberapa hari baik lainya.

dengan adanya kalender bali tersebut, orang bali tidak akan susah untuk menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu. tetapi apabila ingin mempelajari secara manual, tentu ada rumus baku untuk wariga tersebut. dibawah ini akan diberikan sekilas perhitungannya, dan bila ingin mendalaminya tentu memerlukan materi yang lebih mendalam. dibawah ini hanya kulit luarnya saja, tapi sudah bisa digunakan untuk kegiatan sehari – hari. adapun cara mempelajarinya adalah sebagai berikut;

PEDEWASAN,
mula – mulanya dapat dibagi dua bagian antara lain;

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh umat hindu khususnya di bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan keberhasilan. Kedua ilmu itu merupakan salah satu cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau “Jyotisa Sastra” sebagai salah satu wedangga. Walaupun kedua ilmu tersebut sebagai salah satu cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali untuk tujuan praktis pegangan oleh para pendeta dalam memberikan petunjuk baik buruknya hari dalam hubungannya untuk melakukan usaha agar supaya berhasil dengan mengingat hari atau waktu dalam sistim sradha hindu yang dipengaruhi oleh unsur kekuatan tertentu dan planet-planet itu.

Dalam lontar yang disebut “Keputusan Sunari” mengatakan bahwa kata wariga berasal dari dua kata, yaitu “wara” yang berarti puncak/istimewa dan “ga” yang berarti terang. Sebagai penjelasan dikemukakan “….iki uttamaning pati lawan urip, manemu marga wakasing apadadang, ike tegesing wariga”. dari penjelasan ini jelas bahwa yang dimaksud dengan wariga adalah jalan untuk mendapatkan ke’terang’an dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan hidup matinya hari.

Disamping masalah itu, penentuan hari baik berdasarkan perhitungan menurut wariga disebut padewasan (dewasa). Jadi dewasa tidak lepas dari ilmu wariga dimana di dalam wariga, urip hari telah terperinci secara baku. Ini harus dipegang sebagai keyakinan kepercayaan. Dasarnya adalah percaya adan inilah agama.

Kata “dewasa” terdiri dari kata; “de” yang berarti dewa guru, “wa” yang berarti apadang/lapang dan “sa” yang berarti ayu/baik. Dengan demikian jelas bahwa dewasa adalah satu pegangan yang berhubungan dengan pemilihan hari yang tepat agar semua jalan atau perbuatan itu lapang jalannya, baik akibatnya dan tiada aral rintangan.

Sembahyang, salah satu hakekat inti ajaran hindu

Sembahyang, salah satu hakekat inti ajaran hindu. Setiap orang yang mengaku beragama, ia pasti melakukan sembahyang karena sembahyan menurut ajaran agama bersifat wajib atau harus.

Sembahyang intinya adalah iman atau percaya sehingga semua tingkah laku atau perbuatan, pikiran dan ucapan sebagai perwujudan dalam bentuk “bakti” hakekatnya bersumber pada unsure iman (sraddha). Menurut kitab Atharwa Weda XI.1.1, unsur iman atau sraddha dalam agama hindu meliputi: Satya, Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya.

Dari ke enam unsur diatas, dua ajaran terakhir termasuk ajaran “sembahyang”. Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu;
  1. Sembah yang berarti sujud atau sungkem, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran.
  2. Hyang yaitu yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.

Didalam bahasa sehari-hari, orang bali sering juga menyebut kata sembahyang dengan sebutan:
  1. Muspa, karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan jalan persembahan kembang (puspa). 
  2. Mebakti, dinamakan demikian karena inti persembahan itu adalah untuk memperlihatkan rasa bakti (bhakti) atau hormat setulus-tulusnya dengan cara mencakupkan kedua belah tangan atau cara lain yang dapat diartikan sama sebagai penyerahan diri setulus hati kepada yangdihormati atau Tuhan YME. 
  3. Maturan, yang artinya menyampaikan persembahan dengan mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai menurut kemampuan dengan perasaan tulus ikhlas, seperti buah, kue, minuman dll.
Didalam bhagawadgita, yoga atau Samadhi dinyatakan sebagai salah satu bentuk persembahyangan yang dapat pula dilakukan oleh orang yang menganutajaran sanatha dharma (hindu). Berdasarkan pengertian itu maka “sandhya” juga diartikan sama dengan sembahyang. Karena itu kata “tri sandhya” dapat pula diartikan dengan melakukan “sembahyang tiga kali”.

Sembahyang atau yadnya mempunyai fungsi dan kedudukan sangat penting dalam kehidupan beragama. Ini ditegaskan oleh kitab weda smriti sebagai berikut;
“wedoditam swakam karma nityam kuryadatandritah,
Taddhi kurwanyathasakti prapnoti paranam gatim” (Manawa Dharmasastra IV, 14)
Hendaknya tanpa kenal lelah melakukan yadnya yang ditentukan untuknya dalam weda, karena ia yang melaksanakan semua itu menurut kemampuan mencapai kedudukan kejiwaan paling tinggi.

Dengan menggariskan ketentuan yang ditegaskan adanya penyesuaian kemampuan menurut kemampuan atau relative tidaklah mutlak untuk melakukan yadnya melebihi kemampuan karena dengan melebihi kemampuan berarti bertentangan pula dengan weda.

antara kewajiban dan kebutuhan hidup berdasarkan dharma

Antara kewajiban dan kebutuhan hidup merupakan pilihan yang sangat susah, bagai ujung pisau bermata dua. Seperti yang sudah diketahui, tujuan umat hindu adalah “Moksatam jagadhitayasca iti dharma” yang maksudnya mencapai kebebasan (moksa) dan kebahagian/ kemakmuran dunia dengan jalan dharma. Melihat tujuan tersebut terdapat dua point pokok yang saling bersinggungan. Satu sisi umat mengharapkan kebebasan dari penderitaan (moksa) tapi di sisilain tetap ingin menikmati kebahagiaan duniawi. Untuk mencapai kedua itulah maka jalan dharma sangat diperlukan.

Sekarang masalahnya adalah, apa itu dharma?

Asal kata dharma ini sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta, dari urat kata “dhr” yang artinya menjunjung, memangku, mengatur, memelihara dan menuntun. Dharma berarti hokum, hokum yang mengatur dan memelihara serta memusnahkan atau mengembalikan alam semesta beserta isinya kepada asalnya.

Didalam Mahabharata terdapat sloka yang menjelaskan tentang arti dan makna dari kata dharma itu yang bunyinya sebagai berikut:

“Dharanad dharma ityahur, dharmena widhrtah prajah” (santiparwa 109.11)
Dharma dikatakan dating dari dharma (yang berarti memangku /mengatur)
Dengan dharma semua makhluk diatur (dipelihara)

“Dharmena dharyate sarvam Jagat sthavarajangganam” (mahabarata 2.28)
Sema alam, tumbuhan dan binatang diatur oleh dharma (kodrat)

“Lokasamgrahasamyuktam widatrawihitam pura,
Suksmadharmathaniyatam satam caritam uttamam” (santiparwa 259.26)
Kesentosaan dan kesejahtraan umat manusia dating dari dharma,
Laksana dan budi pekerti yang luhur untuk kesejahtraan manusia itulah dharma dikatakan utama.

Dengan penjelasan kutipan sloka diatas jelaslah kiranya asrti serta pengertian dari kata dharma, yang mengandung arti hukum kodrat alam dan hukum tata tertib kehidupan serta kesusilaan yang abadi.

Guna membatasi permasalahan agar tidak terlalu luas, sebab sesuatu yang terlalu luas bisa menimbulkan kekaburan maka penegrtian dharma dipatok menjadi dua bagian yaitu
  1. Dharma sebagai ajaran (doktrin)
  2. Dharma sebagai noema yang mengatur hubungan dalam arti luas.

Sebagai doktrin, dharma menyangkut bidang yang sangat luas, seperti yang diuraikan dalam kitab sarasamucaya, sloka 40 yang bunyinya;
Kunang kengetakena , sasing kajar de sanh hyang sruti, dharma ngaranika.
Sakajar de sang hyang smriti kunang, dharma ta ngaranika
” (saracamucaya,40).
Artinya;
Maka patut di ingat adalah segala apa yang diajarkan oleh Kitab Weda Sruti disebut dengan dharma. Semua yang diajarkan dalam kitab weda smrti pun dharma pula namanya.

Mengenai dharma sebagai norma yang mengatur hubungan dapat kita jumpai gambaran-gambarannya di dalam kekawin Ramayana sebagai berikut;
“…Prihen temen dharma dhumaranang sarat….”
Hendaknya betul-betul diutamakan dharma itu untuk mengatur seluruh dunia

Dalam sarasamucaya, dharma diartikan sebagai norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam usaha untuk mencapai tujuan hidupnya. Tetapi dharma tidak hanya mengatur hubungan antar manusia, melainkan juga huungan dengan penciptanya. Adapun slokanya;

“yan paramarthanya, yan artha kama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning artha kama mene, tan paramartha wikatemwaning artha kama dening anasar sakeng dharma”
Artinya;
Pada hakekatnya, jika artha (kekayaan) dan kama (keinginan/kesenangan) dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan terlebih dahulu, tidak disangsikan lagipasti akan memperoleh artha dan kama itu nanti, tidaklah ada artinya jika artha dan kama itu diperoleh jika menyimpang dari dharma.

Dharma yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan menjadi aturan-aturan dalam yoga dan yadnya. Dharma yang mengatur hubungan antara hubungan manusia dengan manusia menjadi aturan tata susila dan dana punia (sedekah). Jadi riang lingkup dharma adalah semua aturan dibidang;
  1. Sila yaitu tata susila 
  2. Yadnya yaitu korban suci 
  3. Tapa yaitu pengendalian indrianya 
  4. Dhana yaitu dherma atau sedekah 
  5. Prawradya yaitu aturan seseorang wiku yang telah menjadi sanyasa atau bhiksuka 
  6. Biksu yaitu aturan soal dwijati (pembaptisan) untuk menjadi pendeta 
  7. Yoga yaitu jalan untuk menghubungkan diri dengan tuhan

Salah satu sumber yang menyebutkan ketujuh bidang diatas adalah;
“dharma ngarania, sila yadnya tapo dhana, Prabhradya, bhiksu rathadha, yogascani yamasena, dharmasyeko winirnayah” (wrehaspati tattwa 15a)
Yang disebut dharma adalah sila, yadnya, tapa, dhana, prawradya, bhiksu dan yoga, kesemuanya itu adalah bagian-bagian dharma tiada lain.

Sesuai dengan kedudukan dharma sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan alam nyata ataupun gaib (abstrak), maka tujuan dharma itu dapat dibagi menjadi dua yaitu
Untuk mewujudkan keadaan dunia yang tertib, aman, tentram dan harmonis, yang kemudian disebut kertha raharja (jagadhita).
Untuk mewujudkan ketentraman serta kebahagiaan batin, baik dalam kehidupan sekarang maupun sesudahnya untuk selama – lamanya.

Dalam upanisad tujuan dharma dirumuskan dalam kalimat singkat yaitu
Moksartham jagadhitayasca iti dharma
Jagat hita dan moksa-lah tujuan dharma ini.

Untuk mewujudkan dagat huta mutlak diperlukan tiga unsur yang disebut tri warga, yaitu;
  1. Dharma, yaitu kebenaran / keadilan
  2. Artha, yaitu materi/kekayaan
  3. Kama, yaitu keinginan/kesenangan

Tanpa materi/harta benda dan keinginan sebagai pendorong, kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena itu artha dan kama patut dicari tapi hendaknya berdasarkan dharma sebagaimana diajarkan dalam sarasamusaya. Dalam pengejaran artha dan kama biasa terjadi persaingan yang sering menimbulkan pertentangan dan pertikaian, dalam keadaan seperti ini sangat sangat dibutuhkan adanya hukum (dharma) untuk menegakkan keadilan guna melindungi semua makhluk terutama yang lemah, seperti diuraikan dalam manu smriti sebagai berikut;
“tasyarthe sarwabhutanam, goptaram dharmamatmajam, brahma tejomayam dandam, asrjat purwa iswarah” (Manawa Dharmasastra VII.14)
Demi untuk itu, tuhan telah menciptakan anaknya, dharma pelindung semua mahluk, penjelmaannya (dalam bentuk) undang-undang, merupakan bentuk kejayaan daripada brahma.

Sebagai pelindung yang lemah, dharma (hukum) adalah sosio control yang terkuat. Dikatakan bahwa, orang berkeadaan lemah dalam mengontrol yang kuat misalnya raja, untuk itu diperlukan adanya hukum (dharma). Umumnya orang akan takut dengan sangsi sehingga akan lebih berhati-hati agar tidak melanggar dharma, justru itu sangsi/hukuman patut dijalankan sebagai dharma. Dalam manu smriti ada penjelasan sebagai berikut;
“yadi na pranayedraja dandam danda yeswa tandritah, cule mastsyaniwa paksyan durbalan balawattarah” (Manawa Dharmasastra VII.20)
Bila raja tidak menghukum dengan tidak jemu-jemunya kepada orang yang patut dihukum, maka yang kuat akan melalap yang lemah, seperti ikan dalam tempayan.

Setelah dharma dijalankan, tujuan terakhir yang akan dicapai adalah Moksa yang berarti atman telah kembali menunggal dengan Brahman (tuhan) hakekat dharma itu sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan hidup, kekayaan, kesenangan dan rasa ingin memuaskan nafsu harus dicari tapi harus berlandaskan dharma untuk mencapai tujuan akhir yaitu Moksa.

Mantra dan Do’a

Mantra dan do’a sering sekali agak bingung umat kita. Sering ada pertanyaan umat yang seperti ini
  • Apakah pengertian manta dan do’a sama?
  • Bila kita hendak maturan atau sembahyang, apakah harus mengunakan mantra atau do’a?
  • Bagaimana kalau tidak tahu mantra/do’a, apa bisa dengan menggunakan bahasa sehari – hari?
mungkin memalui artikel ini dapat memberikan penjelasan mengenai mantra dan do’a tersebut.

kalau dilihat dari asal katanya, kata mantra dari kata “man” (manana) yang berarti “berpikir/pikiran” dan “tra” (trana) yang artinya bebas dari keterikatan. Menilik asal – usul katanya, maka istilah mantra memiliki makna bahwa dengan mengucapkan mantra berarti seseorang telah memikirkan tenteang Hyang Widhi dengan pengharapan agar dirinya terbebas dari segala keterikatan yang membuat dirinya menderita.

Memantra (mengucapkan mantra) sering juga disebut Maweda/ngweda, karena yang diucapkan sebagai mantra itu umumnya adalah ayat – ayat suci yang tersurat di dalam kitab weda. Mantra juga dapat dikatakan sebagai do’a. sebab mantra itu sendiri adalah do’a – do’a yang dilafalkan dengan mengambil sumber dari weda. Hanya saja seperti sudah menjadi pemahaman umum, memantralebih mengacu pada bahasa hati. Tetapi tentu akan lebih baik jika dapat sembahyang/maturan dengan mantra /do’a sesuai dengan jenis yadnya yang dihaturkan. Kalau memang tidak mengetahui/hafal dengan mantra tersebut, mengunakan bahasa sehari – hari juga tidak dilarang. Bukankah Hyang Widhi maha mengetahui. Dan apabila ada rasa janggal atau kaku dalam mengunakan mantra/doa, tanpa berucap sepatah kata pun asal tetap dengan niat bakti, sembahyang/maturan dapat dilakukan.
Malah sebagaimana disuratkan di dalam kitab manawadharmasastra II.85 menyebutkan justru mantra/do’a dalam hati atau batin itu lebih tinggi nilainya. Selengkapnya dinyatakan sebagai berikut:
pengucapan do’a mantra dengan suara terdengar, 10 kali kebaikannya. Do’a/mantra yang diucapkan tanpa terdengar oleh orang lain 100 kali kebaikannya. Dan pengucapan do’a mantra dalam hati/batin tanpa mengeluarkan kata-kata dari bibir, 1000 kali kebaikannya”.

Sebagaimana diketahui ada empat cara pengucapan mantra yaitu;
  1. Waikhari japa, mengucapkan mantra sampai terdengar 
  2. Upamsu japa, mengucapkan mantra dengan cara berbisik 
  3. Likhita japa, dengan menuliskan berulang – ulang diatas kertas 
  4. Manasika japa, mengucapkan mantra didalam hati.

Dari empat cara itu, mengucapkan mantra di dalam hati yang dipandang memiliki nilai paling tinggi. Namun tentu ini bukan berarti umat tidak perlu mengenal atau menghafal bahasa mantra/do’a. dan yang pasti, dengan cara apapun mantra/do’a dilantumkan, kesemuanya terpulang pada kesungguhan, ketulus-ikhlasan, dan kesucian diri lahir batin yang dijiwaioleh sikap iman dan takwa kepada Hyang Widhi.

Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah

Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah

Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah sangatlah penting dalam kaitannya dengan hubungan umat dengan Tuhan. Sering juga umat menanyakan bangunan/pelinggih apa saja yang mesti dibuat dalam pekarangan rumah tersebut. Menurut beberapa sumber, bangunan/palinggih yang harus ada didalam pekarangan rumah adalah sanggah dan tugu Pangijeng/penunggun karang. Berikut penjelasannya;

Sanggah/Merajan

tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut dengan merajan atau sanggah. Pembuatan sanggah/merajan tidak sekedar hanya hiasan belaka, namun didasari atas landasan sastra yang menaunginya. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan banyak terdapat dalam kitab suci, seperti dalam Bhagawad Gita yang menyebutkan:
Samkaro narakayaiva
kulaghnanam kulasya ca
pantati pitaro hy esam
lupta-pindodaka-kriyah
. (Bhagawad Gita I. 42)
Terjemahan:
Keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh (ke neraka), semua terpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Pudja, 2005: 26).
Penjelasan dari arti sloka diatas: