Pages

Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali I 1352 - 1380 M)

Adipati Bali I setelah ekspedisi Majapahit

DALEM WAWU RAWUH

Wakil Kerajaan Majapahit di Bali


Sikap Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Majapahit. Maka kerajaan majapahit pun menyerang Bali dan berhasil mengalahkannya. Setelah berhasil menguasai Bali dengan menaklukkan Raja Bali Kuna Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada tahun 1343 M, sesuai dengan sumpah Palapa yang didengungkan Rakyan Gajah Mada, maka terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Expedisi Majapahit ini dilakukan pada jaman pemerintahan Tribuwana Tunggadewi yang berkuasa pada periode 1328 – 1350 M.

Setelah kekalahan Kerajaan Bedulu maka Pulau Bali dapat dikuasai sepenuhnya oleh Majapahit maka Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. - Namun demikian walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh Bali Aga sudah menyerah. sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali.

Penyerahan Kekuasaan oleh Patih Gajahmada Kepada Sri Kresna Kepakisan

Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur. Sering terjadi pemberontakan orang-orang Bali Aga dengan pasukan Majapahit. satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di Bali.

Situasi menjadi makin tidak menetu karena para Arya dari Jawa kurang mengindahkan kekuasaan pemerintahan sementara tersebut. Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa yang mampu meredakan ketegangan di Bali.

Kemudian atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu:
  1. Ida Wayan Kepakisan / Sri Juru menjadi Raja di Blambangan
  2. Ida Made Kepakisan / Sri Bimasakti menjadi Raja di Pasuruan,
  3. Ida Nyoman Istri Kepakisan / Dalem Sukanya diperistri Raja Sumbawa
  4. Ida Ketut Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Sri Soma Kepakisan Adalah penasehat Patih Gajah Mada. Konon beliau lahir dari batu. Pada saat beliau memuja Dewa Surya (Surya Sewana), beliau bertemu dengan bidadari. Bidadari itu dinikahinya. Setelah beliau berputra, putra-putranya itu diminta oleh patih Gajah Mada sebagai raja di wilayah yang sudah ditaklukan oleh Majapahit . Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu Danghyang Soma Kepakisan - sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri Kresna Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha.

Pada saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk dijadikan penguasa atau Dalem di Bali.

"Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.


“Om Siddha rastu. Om Ksama sampurna ya namah swaha”.
sebelumnya, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iaki-laki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya. Putra- Putranya :
  1. Mpu Gnijaya
  2. Mpu Semeru
  3. Mpu Ghana
  4. Mpu Kuturan
  5. Mpu Bharadah
  • Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali.
  • Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
  • Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.
  • Ida Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai Karang asem.
  • Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga, Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta,  termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini:
"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama"
yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.

Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama : MPU  TANTULAR

Mpu Tantular yang kemudian dikenal dengan gelar beliau Danghyang Angsoka Nata, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.

Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat :
  1. Mpu Danghyang Panawasikan.
  2. Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra.
  3. Mpu Danghyang Smaranatha..
  4. Mpu Danghyang Soma Kapakisan.

Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra bernama:
  • Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha.
  • Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan.  
Danghyang Angsoka sendiri berputra
  • Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
  • Ida Danghyang Soma Kapakisan atau Mpu Kepakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali. 

PENGANKATAN DINASTI SRI KRESNA KEPAKISAN 

Dalem Ketut atau lebih dikenal dengan sebutan Sri Aji Cili (Dalem Cili) kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan

Penyerahan Kekuasaan oleh Patih Gajahmada Kepada Sri Dalem Kresna Kepakisan

Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan / Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan

Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan) sebelah Timur Kota Gianyar sekarang. Sehingga pada jamannya disebut Dhalem Samprangan. Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.

Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul dan Tombak Ki Olang Guguh yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.

Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama:
Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah Para melahirkan:
  1. Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
  2. Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
  3. Dewa Ayu Wana (Rangda ring Guwang - Dalem Cili)
  4. Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). 
Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin , melahirkan:
  1. Dewa Tegal Besung.

SISTEM PEMERINTAHAN

Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.

Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.

Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.

SISTEM PEMERINTAHAN

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra

Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha.

Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali. Para arya tersebut diantaranya :
  1. Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
  2. Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
  3. Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
  4. Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
  5. Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
  6. Arya Pangalasan
  7. Arya Manguri
  8. Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
  9. Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
  10. Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
  11. Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
  12. Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari
  13. Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
  14. Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
  15. Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
  16. Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
  17. Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
  18. Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem
  19. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan

KEHIDUPAN KEAGAMAAN 

Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting.

Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).

Pura Besakih
Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yang beliu pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa. 

BIDANG KESENIAN DAN KESUSASTRAAN

Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan.

Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.

AKHIR MASA PEMERINTAHAN 

Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Gelar Mpu sebagai Brahmana berubah menjadi Sri, sebagai penguasa.
Baca juga Artikel yang terkait dengan  keberadaan Sri Kresna Kepakisan:
Demikian sekilas tentang keberadaan Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali I 1352 - 1380 M), semoga bermanfaat.

11 komentar:

  1. Osa..kelanjutan babad sri kresna kepakisan ada ga? Tentang kmana ke empat putra beliau and dimana baju kebesaran dan keris ki lobar dibawa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada di Lombok, di Puri Batuaye

      Hapus
    2. Keris Ki lobar sudah di berikan kepada dewa gede kanca de bencingan keturunan raja taman Bali ....dan menjadi raja di nyalian. ....dan saat era dewa tangkeban...keris Ki lobar di makan ujungnya ....satt perang dulu saat itu keris nya tidak diketahui kemana

      Hapus
  2. Kenapa orang biasa bisa masuk ke arya? Tolong penjelasannya:)

    BalasHapus
  3. brahmana menjadi raja ,apa brahmana menjadi kesatria

    BalasHapus
  4. Mungkin disini ada perbedaan diantara warna dan kasta pak. Kasta bs naik turun, tp warna tidak.

    BalasHapus
  5. Tulisan ini hampir mirip apa yg di ceritrakan kakiang tiang .. sane sampun lebar

    BalasHapus
  6. Dalem Sri Aji kresna kepakisan punya 3 Istri mnurut tyang
    1. Ni Gusti Ayu Raras punya oka 4
    2. Ni Gusti Ayu Kutawaringin punya oka 1
    3. Seorang Brahmani dsri Ketepang Reges punya oka 2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sastra babad itu banyak yang dibuat untuk kepentingan si pembuatnya / sipenulisnya, a.l. untuk: mendapat pengakuan jati diri, mencari pengikut suatu klen/penyungsung suatu Pura, mengangkat martabat dirinya bagi yang merasa berstatus rendahan, merebut peluang kerja bidang ritual, menyamakan status yg sama rata sama rasa ala komunis, bahkan sampai mabuk dengan asal usul klen / keturunan.

      Hapus
  7. Mohon infonya Bapak Aji 🙏
    Diatas disebutkan kalau Dalem Kresna Kepakisan adalah keturunan Brahmana, yakni Mpu Soma Kepakisan, tetapi diatas tertulis juga kalau Beliau adalah keturunan Prabu Jayasabha.
    Pertanyaan saya adalah: Dimana letak persilangan darah/ silsilah antara Wangsa Brahmana dan Wangsa Ksatria dalam diri Dalem Kresna Kepakisan...??
    Karena yang saya ketahui dari babad yang lain bahwa yang menjadi keturunan Prabu Jayasabha adalah Patih Agung Arya Kepakisan bukan Raja/ Dalem Kresna Kepakisan. Atau apakah mungkin mereka berdua adalah saudara...?? Selain memang mereka berasal dari Desa yang sama.
    Terima Kasih Banyak atas pencerahan nya 🙏🙏🙏

    BalasHapus