Google+

Teori Ekonomi Akuntansi dalam Agama Hindu (weda Arthasastra)

Teori Ekonomi Akuntansi dalam Agama Hindu (weda Arthasastra)

Sumber utama sistem akuntansi dalam kitab suci Veda adalah pada kitab Arthasastra. Kitab yang diindikasikan sudah ada setidaknya tahun 300 SM telah menguraikan akuntansi secara panjang lehar bahkan telah menerapkan sistem tata buku berpasangan untuk mencatat kegiatan keuangan pemerintahan. Kitab yang membicarakan masalah akuntansi secara komprehensip ini ditulis oleh Kautilya. Sementara itu, keberadaan sistem akuntansi modern saat ini diindikasikan baru ada sejak 1400 Masehi yang diawali oleh para pedangan besar Venesia. Buku Arthasastra memuat hal-hal pokok tentang politik dalam negeri/luar negeri, ekonomi, akuntansi, hukum, pertahanan negara, budaya, dsb.nya

Ilmu akuntansi utamanya menguraikan tata cara pencatatan yang harus dilakukan terhadap aktiva, kewajiban/hutang dan modal. Pada zaman masyarakat sebagian terbesar masih buta huruf, maka cara pencatatan yang dilakukan adalah dengan menggoreskan kapur atau alat lainnya untuk dasar mengingat satu kejadian/peristiwa atau suatu jumlah yang bernilai uang.

Lontar Cempaka Gadang

Lontar Cempaka Gadang


1b.     Om Awighnamastu nama siddham.
        Nihan kaweruhaning Dewi Ratnakama duk sira nguni karyya kama, karman sira Sanghyang Taya cemara geseng, tiba ring suyanya ring patanu ika, kumenar katon luwir Sanghyang Suryya, sinang magalang prapteng Siwa Bhuwana, minannya ring wwe ika tan hana wani amangan kama ika, apan luwih kama ika, watek mina kabeh angemit ring wwe patanu ika. Asing ngatonan padha ulap, apan luwih kawibhawanya luwir suryya kanta yan upa-

Satuan Ukur dalam Arsitektur Bali

Satuan Ukur dalam Arsitektur Bali

Satuan ukur dalam arsitektur tradisional Bali disebut dengan "GEGULAK", yang diturunkan dari bagian-bagian fisik pemilik atau pemakai bangunan. Satuan ukur ini ditetapkan dalam sebilah bambu sebagai modul dasar. Melalui gegulak ditentukan ukuran setiap dimensi arsitektur mulai dari ukuran pekarangan, tata letak masa bangunan hingga pada elemen bangunan yang kecil, seperti: 
  • panjang tiang (sesaka), 
  • panjang balok tarik (lambang, pementang, dan tada paksi), 
  • panjang usuk (iga-iga), 
  • hiasan pada tiang (kekupakan). dll
Ukuran pekarangan digunakan satuan DEPA, yakni ukuran panjang tangan terentang dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri dengan variasi "depa alit", "depa madia" dan "depa agung". 

Jumlah kelipatan satuan ukur depa yang ditambah "PENGURIP" merupakan panjang sisi-sisi pekarangan yang diukur.

Makna filosofis Konsep Dapur bagi Masyarakat Bali

Makna filosofis Konsep Dapur bagi Masyarakat Bali

Paon, dalam bahasa Jawa disebut Pawon atau dapur, sering juga disebut dengan Perantenan, suci serta sebutan lainnya, merupakan bangunan adat bali yang letaknya di sisi selatan, dekat dengan pintu rumah (angkul-angkul) dan apabila rumah adat tersebut merupakan sikut satak, letak dapur biasanya berhadap-hadapan dengan palinggih sedahan karang.

Dalam kehidupan beragama di Bali, dapur merupakan stana dewa Brahma.Penggambaran Dewa Brahma di masyarakat Hindu Bali tidak jauh berbeda dengan penggambarannya di India. Dalam kepercayaan di Bali Dewa Brahma diyakini sebagai Dewanya Dapur, Penguasa dan pelindung arah Selatan, bersenjatakan Gada, berwahana Angsa, memiliki Sakti Dewi Saraswati, atribut serba merah. disamping itu dapur juga erat kaitannya dengan Dewa Agni terutama "tungku dapur (cangkem paon)", yang memiliki sifat "sarwa baksa", membakar apapun yang berada disekelilingnya. disamping itu dapur merupakan perlambang dewa Rudra. Begitu pentingnya fngsi dapur dipandang dari sisi stana dewatanya, sehingga bila terjadi permasalahan magis, biasa orang bali selalu "nunas panglukatan" di dapur

Tips Atasi Bayi menangis di tengah malam

Tips Atasi Bayi menangis di tengah malam

bagi pasangan yang baru memiliki balita, terutama usia rentan bagi orang bali (0-3 bulan), masalah klasik yang sering dihadapi oleh para orang tua yang selalu bikin kelimpungan, galau dan resah adalah tangisan bayinya yang tiada hendi di jam/waktu tertentu, misalnya menangis pada saat sandikala (antara jam 5 - 7 pagi, jam 12 siang, serta jam 6 - 7 malam), bayi menangis saat tengah malam serta bayi yang sering menangis di waktu rahinan/piodalan jagat seperti kajeng klion dll.

banyaknya kejadian bayi menangis di waktu-waktu tertentu tersebut mungkin saja dikarenakan oleh sebab MEDIS, karena itu sebelum lebih jauh bertindak, ada baiknya bayi anda diperiksakan dulu ke para medis baik dokter, perawat maupun bidan. nah.. apabila secara medis ternyata tidak ada masalah, barulah pendekatan non-medis dijalankan.

berikut ini beberapa pendekatan non-medis untuk mengatasi Bayi menangis di tengah malam maupun diwaktu-waktu tertentu.
  1. Kelengkapan upakara/uparengga dan ritual di lokasi menamam ari-arinya serta ritual hariannya
  2. uparengga di depan pintu kamar tidurnya
berikut ini penjelasannya:

Perbandingan Surga antara versi Hindu dengan Agama Abrahamic

Perbandingan Surga antara versi Hindu dengan Agama Abrahamic

setelah melewati banyak diskusi tentang pandangan umum kita tentang tujuan agama, ternyata umat beragama diindonesia masih lebih condong dengan promosi agama yang meng-agung-agungkan SURGA, sebuah capaian setelah manusia meninggal. dan yang cukup mengkejutkan, ternyata ada juga umat hindu yang sangat fanatik dengan pengetahuan surganya, dan berupaya mengkonversi lawan bicaranya agar meyakini surga-surga dambaan setelah meninggal tersebut.

salah satu umat hindu yang sangat dengat dengan bahasan keindahan surgawi adalah umat hindu yang memeluk aliran Hare Krisna (HK) dengan salah satu kitab rujukannya adalah Bhagavata Purana. 
memang belakangan terjadi perselisihan dikalangan umat hindu terutama hindu dibali dengan keyakinan yang dianut oleh Umat HK ini, karena ada beberapa prinsif agama yang telah membudaya dibali secara perlahan-lahan di "tabukan" untuk dijalani, sehingga ada beberapa pendapat yang mengacu pada pesan singkat mahagurunya bahwa HK bukanlah hindu. ini kembali manambah parah situasi, tatapi umat HK dibali masih menyatakan dirinya sebagai umat Hindu walau ada sedikit gesekan. salahsatunya adanya keyakinan yang mirip surga yang diberi sebutan Vaikunta.

baik, mari kita bandingkan vaikunta surga menurut versi Bhagawad purana dengan Al-jannah alias surga versi Islam dalam kitab Al-Qurnan.



bersambung..........

tentang Catur Yuga - Perputaran Jaman menurut Weda

tentang Catur Yuga - Perputaran Jaman menurut Weda

Dalam konsep Hindu kita kenal dengan empat jaman yaitu Catur Yuga. Yuga (Dewanagari: युग) atau 1 Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di muka bumi, yang terbagi menjadi empat zaman
Adapun zaman tersebut secara berturut-turut berputar searah jarum jam adalah zaman:
  1. Kerta Yuga atau Satya Yuga, 
  2. Treta Yuga, 
  3. Dwapara Yuga, dan 
  4. Kali Yuga. 
Menurut ajaran Hindu, keempat zaman tersebut membentuk suatu siklus, sama seperti siklus empat musim. Siklus tersebut diawali dengan Satyayuga, menuju Kaliyuga. Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Perubahan zaman dari Satyayuga (zaman keemasan) menuju Kaliyuga (zaman kegelapan) merupakan kenyataan bahwa ajaran kebenaran dan kesadaran sebagai umat beragama lambat laun akan berkurang, seiring bertambahnya umat manusia dan perubahan zaman. Dimana pada akhirnya manusia akan merasa bahwa di suatu masa yang sudah tua, ketika bumi renta, ketika kerusakan moral dan pergeseran budaya sudah bertambah parah, maka sudah saatnya untuk kiamat.

Lontar Roga Sangara Bumi

Lontar Roga Sangara Bumi

Secara umum, lontar ROGA SANGARA BHUMI berisi tentang :
  1. Sebab-sebab malapetaka/bencana terjadi di dunia,
  2. Jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi di dunia
  3. Beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana
Lontar Roga Sangara Bumi diartikan:
  • Roga: penyakit, sakit, dan cacat badan.
  • Sanghara /Samhara: menarik kembali; meniadakan; rusak; lebur; kehancuran; pembinasaan (Mardiwarsito, 1981: 507). 
  • Bhumi: bumi.
Jadi ROGA SANGARA BUMI berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia.

benarkah memuja leluhur itu salah?

Benarkah memuja leluhur itu salah?


Belakangan ini semeton Hindu Bali agak sedikit terganggu dengan penafsiran yang mungkin kurang pas tentang bhakti marga, dimana dikatakan bahwa umat hindu bali yang menjalani tradisi gama bali atau gama tirta kurang mengikuti ajaran sesuai weda sesuai aslinya. ini diakibatkan oleh penafsiran atas sloka Bhagawad Gita oleh sekelompok umat hindu yang mengikuti ajaran sampradaya. bagi mereka memuja leluhur itu kurang tepat, karena yang lebih tepat adalah memuja tuhan, dimana tuhan yang dimaksud dalam penafsiran mereka terhadap kitab bhagawad gita adalah sosok tokoh sri krisna.

dalam anggapan mereka, krama bali yang meneruskan tradisi gamabali sebagai "terbelakang" atau "kurang paham ajar­an agama" atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolah-olah mereka lebih tahu masalah agama dibandingkan kita orang bali?

iti Tingkahing Weda Parikrama

Tingkahing Weda Parikrama

OM AWIGNAM ASTU NAMA SIDEM

I.    PANGAWIT
1 Mekampuh

Om, Ang, Siwa Stiti Ya Namah Swaha
Ong, Tang, Mahadewa Ya Namah Swaha (Wastra)


2. Mesabuk
Ong, Ung, Wisnu Ya Namah Swaha

3. Waseh Pada
Ong, Ang, Kang Kasolkaya Iswara Ya Namah Swaha

4. Waseh Asta
Ong, Hrah Pat Astra Ya Namah

5.  Tak Muhmuh
Ong, Ung, Pat Astra Ye Namah

6. Masila Denapeded
Ong, Ang, Prasada Stiti Sarira, Siwa Suci Nirmala

7. Ungkab Sangwanta
Ong, Ing, Iswara Pretista Jnana Lila Ya Namah Swaha

8. Pehening Budhi
Ong, Ung, Hrah Pat Astra Ya Namah
Ong, Atma Tatwatma Sudamem Swaha
Ong, Ong, Ksama Sampurna Ya Namah Swaha
Ong, Sri Pasupataye Ong Pat
Ong Gring Wosat Ya Namah


Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng

Upacara Cakcakan di Desa Sambirenteng

Upacara Cakcakan terdiri dari dua kata yakni Upacara dan Cakcakan. 
  • Upacara berarti cara manusia untuk menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan menggunakan suatu alat yang disebut upakara atau banten. 
  • Cakcakan berarti suatu rangkaian upacara Bhuta Yadnya yang pelaksanaannya diiringi dengan adu kemiri, adu telor, adu sata, mecaru di Perempatan Desa, dan acara pesta massal atau pagibungan krama.
Setiap desa di Bali memiliki pedoman dan konsep yang sama dalam mencapai kemajuan, kesejahteraan dan kedamaian desanya. Pedoman itu adalah konsep Tri Hita Karana. Masing-masing desa pakraman memiliki adat dan tradisi yang berbeda-beda dalam menjalankan konsep Tri Hita Karana itu sesuai dengan latar belakang desa, tempat, penduduk dan potensi desa itu sendiri. Sehingga dari berbagai ragam adat dan tradisi umat Hindu inilah yang memperkaya budaya daerah dan budaya nasional dapat menarik para wisatawan asing untuk datang ke daerah Bali menyaksikan keragaman budaya dan tradisi-tradisi yang unik itu.

Sang Hyang Tattwa Jnana

Sang Hyang Tattwa Jnana

Oṃ awighnam astu namaḥ siddham. om.

Nihan kayatnakna de sang sewakadharmma sang mahyun luputeng janmasaṃsara, hana sang hyang tattwajnana ngaranira, ya tika kawruhaknanta rumuhun lawanika dewatanya, enak pwa wruh ta ring sang hyang tattwajnana, niyata sira tumon janmasangsara mwang mantuka ri sangkanya. aparanika sinanggah sang hyang tattwajnana ngaranira, sugyan mangkana linga sang para, anam pih sang hyang tattwajnana ngaranira anung pinakabungkah ning tattwa kabeh, ndya lwirnya nihan.1

Sang Hyang Kamahayanikan

Sang Hyang Kamahayanikan

namo buddhāya .

nihan kalingan ing oṃ ah huṃ, yan pinakapangashiṣṭhāna umajarakan as bhaṭāra tryakṣara sira paramārtha kāya wāk citta bajra ngaran ira.

EHI VATSA MAHĀYĀNAṂ MANTRACĀRYANAYAṂ VIDHIṂ
DEŚAYIṢYĀMI TE SAMYAK BHĀJANAS TVAṂ MAHĀNAYE.

ka: sang hyang mahāyāna iki warahakna mami iri kita, MANTRACĀRYYANAYAṂ VIDHIṂ, sang hyang mantranaya sira mahāyāna mahāmargga nngaranira, DEŚAYIṢYĀMI TE [a9] SAMYAK, sira teki deśanākna mami warahakna mami ri kita, BHĀJANAS TVAṂ MAHĀNAYE, ri kadadinyan kita pātrabhūta yogya warahĕn ri sang hyang dharmma mantranaya.

Ganapati Tattwa Samapta

Ganapati Tattwa

Om awighnam astu
Oṃ namaḥ siddham
Om gaṇapatiḥ śiwam pṛcchad ganggomayoḥ siddhārthadaḥ
dewagaṇaguruḥ putraḥ śaktiwīryyālokaśriyai. 1
  1. nihan pitu[tu]r ira bhaṭāra śiwa, ri sang hyang gaṇa, sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, ring bhaṭāra, hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ing pañcadaiwātmā, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun.
  2. īśwara uwāca,
  3. anaku sang gaṇapati piṛngwākna pawarah kami ri kita, ikang śabda śūnya, sakeng oṃkāra mijil bindu, kadi ĕbun hana ry āgra ning kuśa, kasĕnwan rawi, mahning kadi dhūpa, dīpta nira mābhrākarakāra, sakeng bindu matmahan pañcadaiwata, brahmā, wiṣṇu, rudra, kami, mwang sang hyang sadāśiwa, mangkanānaku, makapawijilan ing daiwātmā.
  4. gaṇapati uwāca,
  5. sĕmbah ning tanaya ra sanghulun, hanta muwah warahana ri prakāśa ning bhuwana, lamakane wruha rānak rahadyan sanghulun.

Filsafat advaita dari sanskara acarya

Filsafat advaita dari sanskara acarya

Sutra-sutra atau aphorisme dari Wyasa merupakan dasar dari filsafat Wedanta dan telah di jelaskan oleh berbagai pengulas yang berbeda-beda. Dari penafsiran-penafsiran ini muncul beberapa aliran filsafat yaitu, Kewala Adwaita, dari sanskaracarya, filsafat monisme terbatas atau wisistadwaita dari sri ramanuja, filsafat Dwaita dari Sri Madhwarcarya, Filsafat BhedaBheda dari Sri Nimbarkacarya, Filsafat Acintya Bhedabheda dari Sri Caitanya dan filsafat Siddhanta dari Sri Meykandar.

Tiap-tiap sistem filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu tentang Tuhan, alam dan roh. Beberapa aliran filsafat hanya berbeda dalam mengusahakan penemuan kebenarannya. Acarya-Acarya yang berbeda, dari aliran filsafat yang berbeda secara nyata, menjadi pendiri dari sekte-sekte dan sistem-sistem yag terkenal. Para pengikut dari aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk membuktikannya dengan menafsirkan Wedanta Sutra sesuai dengan pendapat mereka sendiri; menunjukkan pendapat yang di dasarkan atas, dan secara teratur di kembangkan, dari tradisi kuno.

dvaita dari lakulisa pasupata

Dvaita dari lakulisa pasupata

Sistem filsafat Lakulisa Pasupata berbeda dengan Pasupata yang bersifat Dualis, walaupun keduanya mengakui adanya 5 kategori utama, yaitu:
  1. Karana,
  2. Karya,
  3. Yoga,
  4. Viddhi, dan
  5. Duhkhanta. 
Perbedaan system ini dengan Pasupata dualis tempaknya telah di tunjukkan dalam ulasannya yang disebut Ratna Tika pada Gana Karika dari Bhasarvajna, ketika ia membahas tentang perbedaan Lakulisa Pasupata dengan sistem filsafat lainnya (Sastrantare).Pernyataan tentang gambaran yang berbeda itu kelihatannya menjadi sangat perlu, karena hal itu di kutip oleh Madhava dalam Sarva Darsana Samgraha-nya. Hal ini dapat di nyatakan sebagai berikut:
  1. Pada sistem filsafat lain, masalah pembebasan tiada lain merupakan akhir dari segala kesengsaraan, tetapi menurut filsafat Lakulisa Pasupata, pembebasan merupakan pencapaian keunggulan atau kesempurnaaan ILahi.
  2. Di sini perbedaan Lakulisa Pasupata dengan Pasupata dualis dinyatakan; karena Lakulisa tampaknya mengawali Pasupata Sutra-nya dengan objek tentang pernyataan perbedaan dari sistem filsafatnya dengan Pasupata yang lebih awal, karena tujuan karya tersebut, seperti yang di nyatakan dalam sutra pertamanya, adalah untuk menghadirkan disiplin spiritual yang berguna dalam penyatuan dengan Tuhan, seperti yang di kemukakan oleh Tuhan sendiri (athatah pasupateh pasupatam yogavidhim vyakhyasyamah).
    Kita mengetahui bahwa konsepsi pasupata tentang pembebasan di pakai oleh Nyaya dan Vaisesika, karena Nyaya sutra dari rsi Gautama secara jelas menunjukkannya dalam sutra yang ke dua dan rsi Vatsyayana dalam ulasannya memperjelas hal itu ketika ia mengatakan :
    katham buddhiman sarva duhkhocchedam sarvaduhkha samvidam apavargam na rocayet
    yang artinya
    Bagaimana seorang bijak dapat tidak menyukai pembebasan (apavarga) ini, yang di cirikan dengan penghentian total dari segala kesengsaraan”.

Implementasi Dewa yadnya di era modern di Bali

Implementasi Dewa yadnya di era modern di Bali

Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.
Kata “upacara” berasal dari bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan yadnya artinya ikhlas berkorban untuk tujuan yang benar dan suci. Jadi, upacara yadnya adalah upaya spiritual dengan bentuk ritual dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan dengan landasan bhakti.

Pokok-pokok ajaran Samkhya

Pokok-pokok ajaran Samkhya

Pendiri dari system filsafat ini adalah Sri kapila muni,yang di katakana sebagai putra Brahma dan Avatara Wisnu. Kata “Samkhya“ itu sendiri artinya “jumlah” dan system ini memberikan sejumlah prinsip-prinsip alam semesta yang banyaknya 25 buah, sehingga nama Samkhya tersebut sangatlah tepat. Istilah Samkhya juga di pergunakan dalam pengertian “Vicara” atau “perenungan filosofis”.

Ajaran Samkhya berpengaruh besar ajaran agama hindu di Indonesia. Kitab Tattva Jnana, Wrhaspatitattva adalah ajaran Samkhya dalam Saivapaksa. Ke dua kitab ini dalam bahasaa jawa kuna. Ajaran Samkhya haruslah merupakan ajaran yang sudah tua benar usianya. Buktinya baik kitab Sruti maupun Smrti maupun pula purana menunjukkan pengaruh ajaran Samkhya. Menurut tradisi pembangunannya adalah RSI KAPILA yang menulis Samkhya sutra. Pada system Samkhya tak ada penyelidikan secara analitik ke dalam alam semesta, seperti keberadaan yang sesungguhnya,yang merupakan susunan menurut topic-topik atau kategori-kategori, namun terdapat suatu system tiruan yang di awali dari satu Tattva atau prinsip mula-mula yang di sebut Prakrti, yang berkembang atau menghasilkan (Prakaroti) sesuatu yang lain.

Bungkak Nyuh Gading

Bungkak Nyuh Gading

bungkak nyuh gading
Bungkak Nyuh Gading merupakan istilah yang sudah sangat dikenal bagi masyarakat hindu bali. Bungkak Nyuh Gading ini adalah istilah yang digunakan untuk menamai kelapa muda (bungkak) yang berwarna orange kekuningan (gading). Bungkak Nyuh Gading ini merupakan simbol dari Hyang Surya
Dewa Surya dalam jajaran 33 dewa dalam reg weda merupakan dewa tertinggi, dimana dalam hindu bali yang bernafaskan siwa sidhanta, dewa surya mendapatkan tempat khusus sehingga beliau sering disebut Siwa Raditya. Siwa Raditya adalah pancaran sinar suci Siwa dalam kekuatan-Nya untuk menyinari dan menjaga yang ada di alam ini. 

Makna Filosofis Dalam Kala Tattwa

Makna Filosofis Dalam Kala Tattwa

Pada dasarnya, setiap yadnya sanagt terkait dengan Tattwa Kala, yang dalam hal ini lebih dikenal dengan Bhuta Kala dan setelah disomyakan menjadi Dewa. Karena itu jelas bahwa nilai filsafat yang secara langsung berkaitan dengan agama yang tercermin dalam cerita Tattwa Kala adalah sesuai dengan ajaran agama Hindu yang meliputi Tattwa (Filsafat), Susila (etika), dan upacara (ritual)

Kata tattwa merupakan:
  • istilah filsafat yang didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai oleh filsafat itu, yakni suatu kebenaran sejati yang hakiki dan tertinggi.
  • tattwa artinya tutur, cerita, melajahin tattwa utama. Dalam ajaran agama Hindu pandangan tentang kebenaran disebut Tattwa. Kata Tattwa berasal dari bahasa sansekerta yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “kebenaran, kenyataan”.
Lontar-lontar di Bali menyebutkan kata tattwa inilah yang dipakai untuk mengungkapkan kebenaran. Karena segi memandang kebenaran berlainan, maka benarnya sebuah kebenaran itu adalah sesuai dengan bagaimana orang memandangnya, walaupun kebenaran itu hanya ada satu.

Sekilas tentang Lontar Tutur Gong Besi/Wesi

Sekilas tentang Lontar Tutur Gong Besi

Gong Besi adalah termasuk lontar tutur yang besrifat Siwaistik. Lontar ini tergolong muda dan kemungkinan besar ditulis di Bali.

Ditilik dari isinya, lontar ini isinya lebih dari satu, hal ini  dapat dimengerti karena adanya kebiasaan dari para penyalin lontar memasukan beberapa materi dalam satu lontar sehingga terjadi seperti itu. Pokok-pokok isinya dapat disampaikan sebagai berikut:
  1. Bagian yang berisi Tutur Gong Besi
  2. Menyebutkan bahwasanya Bhatar Dalem patut dipuja dengan penuh bakti.Beliau dapat di-utpeti, stiti dan pralina.Untuk dapat memuja Beliau secara tepat maka terlebih dahulu harus diketahui nama-nama lain dari Beliau, karena Beliau meiliki banyak nama sesuai dengan tempat yang ditempati Beliau.
  3. Bagian yang berisi “Keputusan”
    • Keputusan Sanghyang Wimbayagni. Keputusan ini diajarkan oleh Danghyang Dwijendra kepada Ida Manik Angkeran, terakhir kepada Dewa Sakti di Manoaba.Ilmu ini berguna untuk membakar racun dalam tubuh.Keputusan ini juga disebut Sanghyang Kutyagni.
    • Pangaradan Dewa atau disebut pula Pamatuh Ndewasraya. Ilmu ini berguna untuk menarik Dewa tertentu agar hadir memberikan anugrah.
  4. Bagian yang berisi ajaran Sanghyang Dharmatattwa
  5. Bahwasanya manusia memiliki dua aspek yaitu aspek sakala (nyata) dan aspek niskala (tidak nyata), yang menyebabkan manusia mengalami dua hal yang berbeda seperti baik-buruk, tidur-terjaga, hidup-mati, kesemuanya disertai dengan upacara.Upacara untuk orang hidup disebut “Pradhana Sakala” dan untuk orang mati disebut “Pradhana Niskala”.
    Pengetahuan tentang sakala dan niskala sangat perlu bagi seorang Resi dalam menyelesaikan upacara ngaben.Ia harus bisa menghadirkan atma orang yang diaben, maka itu ia harus mengetahui keluar masuknya tujuh atma dalam badan, sebab kalau tidak demikian akan percumalah upacara tersebut.
  6. Bagian yang mengandung ajaran wariga (Wariga Gemet)
  7. Pada bagian ini disebutkan ada tiga tingkatan upacara yaitu ala, madhya, dan utama.Setiap upacara, apakah itu ala, madhya, dan utama tidak boleh lepas dari perhitungan hari baik yang harus dicari dalam Pncawara, Uku, Tanggal, dan Panglong dalam Wariga. Di sini juga diingatkan bahwa pada setiap akhir pelaksanaan yajnya agar nasi yang digunakan untuk menyucikan dewasa itu disantap oleh yang punya yajna beserta seluruh anggota keluarga karena akan berpahala kerahayuan dan kebahagiaan.
  8. Bagian yang berisi sederetan hari baik dan buruk
  9. x Hari baik atau buruk ditentukan berdasarkan perhitungan pertemuan antara Saptawara dengan Pancawara dan Uku.Hari tidak baik haruslah dihindari untuk melakukan suatu kegiatan atau upacara agama.

Upacara Ngelepas Aon dan Namakarma (bayi umur 42 hari)

Upacara Ngelepas Aon dan Namakarma (bayi umur 42 hari)

dalam tradisi keluarga kebayan guwang, Upacara Manusa Yadnya ngelepas aon (awon) serta manakarma (pemberian nama bayi) dilaksanakan pada saat bayi berumur 42 hari atau istilah balinya saat bayi berumur "a bulan pitung dina" (bulan = 35 hari, pitung dina = 7 hari, sehingga total 42 hari)

Upacara ngerorasin atau "ngelepas hawon", biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang dituakan atau bisa juga oleh seorang Pemangku. Upacara ini dilakukan di pekarangan rumah yaitu di dapur (Brahma) dan sanggah kemulan. 

Selain itu upacara ini juga disebut “nama karma”, Karena pada saat ini si bayi dianggap sudah melewati masa-masa kritis. Berarti jivatman sudah teguh menyatu dengan badan, maka si bayi lalu di beri nama. Dan pada saat seperti ini, biasanya keluarga si bayi akan mencari balian, nunas baos, bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan si bayi. Siapa, apa dan bagaimana si bayi itu. Biasanya ditanyakan;
  • siapakah sang numadi yang bereinkarnasi itu. Pekak, kumpi, dadong dan sebagainya. 
  • Apakah masih punya tunggakan utang pada kehidupan sebelumnya? 
  • Atau apakah permintaannya? 
  • Dan pada kelahirannya yang sekarang ini, apakah sudah membawa nama? 

Sekilas tentang Lontar Pasuk Wetu

Sekilas tentang Lontar Pasuk Wetu

sebelum membaca sekulas tentang lontar pasuk wetu, ada baiknya anda membaca artikel sebelumnya yang berjudul "Belajar tenaga Dalam Spiritual Bali" karena yang dibahas berikut ini ada kaitannya dengan artikel tersebut.

"Belajar tenaga Dalam Spiritual Bali" merupakan pendahuluan pemahaman yang dapat digunakan bagi setiap orang yang hendak menekuni ajaran pasuk wetu atau yang lebih dikenal dengan ajaran kanda pat. untuk lebih jelasnya, ajaran tersebut dijelaskan dalam pembahasan berikut ini:

Pasuk Wetu (Kanda Pat)

Banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan dari para leluhur yg dirahasiakan bahkan banyak yg sudah punah karena lontar-lontar tidak disalin dan hancur karena sudah tua. Maka dari itu marilah kita jaga dan pelajari yg masih tersisa, salah satunya adalah lontar-lontar yang membahas ajaran ‘Pasek Wetu’. Pasuk wetu merupakan ilmu yang mempelajari (cara memasukkan dan mengeluarkan Kanda pat dari dalam tubuh)

Tentang Moksa - Catur Purusa Artha

Tentang Moksa - Catur Purusa Artha dan Panca Sradha

Moksa adalah salah satu sradha dalam Agama Hindu yang merupakan tujuan hidup tertinggi Agama Hindu (Panca Sradha dan Catur Purusa Artha). Diantara semua makhluk hidup di dunia ini, maka manusia adalah yang termulia, menurut ajaran agama Hindu. Manusia dapat berbuat baik maupun buruk. Orang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Menjelma menjadi manusia sungguh-sungguh utama karena ia dapat menolong dirinya dari kesengsaraan dengan berbuat baik.

Menjelma menjadi manusia merupakan kesempatan untuk membebaskan diri dari kesengsaraan menuju kebahagiaan yang abadi yang di  sebut moksa/kebebasan.

Moksa berasal dari kata “muc” diambil dari Bahasa Sansekerta yang artinya membebaskan/ mengeluarkan/ melepaskan.

Wanaprasta dan Sanyasin (bhiksuka) - Catur Asrama

Wanaprasta dan Sanyasin (bhiksuka) - Catur Asrama

Dalam masa kehidupan Wanaprstha dan Sanyasa (Bhiksuka) yang merupakan tahap akhir dari Catur Asrama, tujuan utama dari kehidupan seseorang adalah untuk mencapai kebebasan rohani yang disebut Moksha.

Kehidupan Wanaprstha merupakan persiapan awal untuk menuju moksha yaitu dengan mewariskan nilai-nilai yang positif untuk grhastin-grhastin penerus, disamping itu mempersiapkan hal-hal yang mendasar untuk menghadapi masa akhir dari hidup ini dengan harapan mendapatkan moksha.

Tahapan Wanaprastha adalah masa menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Sedangkan masa Sanyasa sudah berusaha melepaskan diri sama sekali dari kehidupan duniawi.

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta Asrama - Catur Asrama

Grahasta merupakan tahapan kedua dari catur asrama artinya hidup berumah tangga, bersuami istri. 
Pada masa kehidupan Grhasta tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Artha dan memenuhi Kama, oleh karena itu, suatu rumah tangga belum dapat dilaksanakan kalau belum siap dengan sumber Artha berupa pekerjaan yang tetap yang memberi hasil yang memadai untuk menjalankan rumah tangga. Demikian pula dengan Kama yang menyangkut dorongan hidup seperti nafsu haus, lapar dan seks. Dorongan hidup itu harus dipenuhi dengan berlandaskan Dharma. 

Kama adalah salah satu media untuk mendapatkan kebahagiaan dan jangan samapai Kama itu memperalat manusia (sang diri). Sang diri harus mampu membatasi Kama. Manusia tanpa Kama tidak dapat menikmati kebahagiaan sejati dari hidup didunia ini. Akan tetapi Kama tanpa batas dan kendali, maka keindahan dunia ini akan berbalik menjadi sumber kehancuran. 
Demikianlah "hidup dalam Grhasta Asrama, harus berlandaskan Dharma".

Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka

Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka

Anak atau disebut putra merupakan asset bagi orang tua dan leluhur. Anak bukan hanya bertanggungjawab atas perihal urusan kehidupan di dunia nyata bagi orang tua, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab terhadap orang tua maupun leluhurnya. Anak memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan roh orang tua dari api neraka. Oleh karena itu anak disebut putra.

Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).

Ajaran Tintiyasana Yoga

Ajaran Tintiyasana Yoga

Tintiyasana adalah manifestasi jati diri yang agung, yang juga disebut Acintya yang berarti tak terbayangkan namun dia ada, dilihat dari sudut sifatnya. Dia ada  dimana-mana Wyapi-wyapaka. Di dalam serat Dewa Ruci atau Bima Ruci- Bima Suci di uraikan Bima manunggal dengan jati dirinya yang agung sehingga ia sadar dan memahami akan jati dirinya dan ilmu sejati. Di dalam upacara dan upakara serta bangunan-bangunan suci di Bali, khususnya di Ulon Padmasana pasti kita saksikan symbol Tintiyasana ini / ulap-ulap yang berarti keberadaan Sang Hyang Widhi di tempat itu, sehingga upacara dan bangunan suci tersebut akan selamat dan sentosa. Sana berasal dari kata sesana atau ajaran yang sering di rangkai dengan kata asana sikap duduk untuk melakukan upacara pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa/ Leluhur.

Di dalam Tintiyasana kita mengambil sikap terlentang tengadah dengan lutut kanan ditekuk/setinggi lutut kiri. Dengan sikap tengadah dan menekuk lutut relaksasi  lebih mudah dapat dicapai sehingga memudahkan kita dan mempercepat menyatu dengan-Nya Brahman. Dalam keadaan tidur nyenyak kita terlepas dari keadaan dan hanya diliputi kebahagiaan Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Itulah Brahman Rupata, keadaan itu dapat dicapai lebih-lebih lagi oleh orang yang dibebaskan. Setelah penyegaran barulah dimulai pengaturan dan pengendalian nafas/Pranayama.

Cakra Mahkota atau Sahasrara Padma (Siwadrawa)

Cakra Mahkota atau Sahasrara Padma (Siwadrawa)

merupakan cakra yang terletak di ubun-ubun kepala.

Ajna Chakra atau Mata ke tiga

Ajna Chakra atau Mata ke tiga

merupakan cakra yang terletak diantara kedua alis

pemahaman Ajna Chakra

Ajna cakra juga dinamakan paramakula dan mukta treveni, karena dari sini trinadi, yaitu Ida, Pingala, dan Sushumna berpisah menuju ke tujuan masing-masing. Ajna cakra ini seperti kembang padma yang berdaun bunga hanya dua helai, terletak di sela-sela alis mata. Di sini  tidak terdapat tattva dari Mahabhuta yang kasar itu lagi, tetapi tattva yang halus dari jiwa mulai muncul disini. Hakarardha atau setengah dari aksara La terdapat juga disini. Pada kedua helai daun bunganya itu terdapat varna merah dengan bunyi hang dan ksang.
 
Didalam sari bunganya tersembunyi vija “Ong” di semua bagian cakra ini masih bekerja Tri guna sattva, rajas dan tamas. Di dalam mandala berbentuk segitiga di dalam bunga itu terdapat linga yang bersinar-sinar (tejo-maya) dalam bentuk pranava (pranavakriti) yang disebut Itara. Para Siva dalam perwujudan bangsa (hangsa-rupa), juga disana dengan sakti Sidha-Kali. Pada tiga sudut segitiga itu berdiri Brahma, Visnu dan Maheswara. Di dalam cakra ini bersthana Hakini-Sakti yang putih, berkepala enam dan berlengan empat melakukan pose jnana-mudra, memegang tengkorak, damaru dan tasbih

Cakra Tenggorokan atau Visudha Chakra

Cakra Tenggorokan atau Visudha Chakra 

letaknya disekitar tenggorokan/leher

Pemahaman Visudha Chakra

Visudha cakra atau Bharatisthana, tempat kedudukan Devi yang menguasai ucapan, terletak pada ujung bawah kerongkongan (kanta-mula). Tattva cakra ini ialah “ether”. 

Reinkarnasi Penjelmaan Kembali (PUNARBHAWA)

Reinkarnasi Penjelmaan Kembali (PUNARBHAWA)

Kata PUNARBHAVA berasal dari bahasa Sansekerta,terdiri dari kata PUNAR dan BHAVA.
  • Punar berarti lagi,kembali.
  • Bhava berarti menjelma atau lahir.
Jadi Punarbhava berarti kelahiran yang berulang ulang yang disebut pula penitisan atau samsara. Di dalam Pustaka Suci WEDA dikatakan bahwa penjelmaan  atma atau roh yang berulang ulang samsriti kedunia ini disebut samsara. Punarbawa atau samsara ini diakibatkan oleh adanya hukum karma, dimana atma yang jelek mengakibatkan atman atau roh menjjelma kembali untuk memperbaiki perbuatan nya yang jelek itu atau atman itu masih di pengaruhi oleh karma wasana atau sisa sisa perbuatan atau juga kenikmatan duniawi sehingga tertarik untuk lahir kedunia. Kelahiran ini adalah samsara(sengsara) sebagai hukuman yang diakibatjan oleh perbuatan atau karma dimasa perbuatan terdahulu.

Sekilas tentang Wamana Purana

Sekilas tentang Wamana Purana

Siva dan Parvati

Rsi Narada suatu hari menemui rsi Pulastya dan ingin tahu tentang Vamana purana. Apapun yang diceritakan Pulastya pada Narada adalah seperti cerita berikut ini :
Siva dan Parwati tinggal di Gunung Mandara. Ketika panas matahari menyengat mereka, Parvati berkata pada Siva, “ Kita tidak mempunyai rumah. Bagaiamana kita bertahan dari sengatan matahari dan hembusan angin ?”
“ Itu tidak berarti bagi kita , “jawab Siva. “ Aku tidak memiliki rumah. Aku menghabiskan waktuku di hutan belantara .“
Siva membawa Parwati menuju sebuah pohon dan mereka menghabiskan musim panas dibawah pohon.

Ajaran YOGA dalam kehidupan sehari-hari

Ajaran YOGA dalam kehidupan sehari-hari

Kata yoga berasal dari bahasa Sanskerta “yuj”, yaitu menghubungkan atau hubungan, yakni hubungan yang harmoni dengan objek yoga. Maharsi Patanjali dalam kitabnya, Yogasutra (I:2) mendefinisikan yoga:
yogas citta vrtti nirodhah”, 
yang artinya;
mengendalikan gerak-gerik pikiran, atau cara untuk mengendalikan tingkah-polah pikiran yang cendrung liar, bias, dan lekat terpesona oleh aneka ragam objek (yang dikhayalkan) memberi nikmat.

Sekilas Sloka tentang Ketuhanan, Filsafat, Etika dan Upacara

Sekilas Sloka tentang Ketuhanan, Filsafat, Etika dan Upacara

KETUHANAN

Dalam Sarasamuscaya, 35. Menyebutkan sbb :
Ekam yadi bhavecchastram sreyo nissamcayam bhavet’ bahutvadiha sastranam guham creyah pravesitam. (Sarasamuscaya, 35).
Artinya :
Yan tunggala keta Sang Hyang Agama, tan sangcaya ngwang irikang sinanggah hayu, swargapawargaphala, akweh mara sira, kapwa dudu paksanira sowing-sowang-hetuning wulangun, tan anggah ring anggehakena, hana ring guhagahwara, sira sang hyang hayu.
Terjemahan :
Sesungguhnya hanya satu tujuan agama, mestinya tidak sangsi orang yang disebut kebenaran, yang dapat membawa ke surga atau moksa, semua menuju kepadanya, akan tetapi masing-masing berbeda caranya, disebabkan oleh kebingungan, sehingga yang tidak benar dibenarkan; ada yang menyangka,bahwa di dalam gua yang besarolah tempatnya kebenaran itu.

Kewenangan Sulinggih (Pandita)

Kewenangan Sulinggih (Pandita)

Status dan wewenang Diksa atau Sang Diksita ( Sulinggih) ada termuat di dalam beberapa pustaka agama Hindu. Di antaranya Sarassamuscaya menguraikan :
Sang apta, sanga sistacara, sang panadahan upadesa
Artinya:
kepada sulinggih ada tiga kekuatan suci pada pribadinya yaitu yang mengetahui  (berilmu tinggi), kehidupan suci dan merupakan tempat orang memperoleh kebenaran / dharma.

Rontal Bhisma Parwa menguraikan bahwa sang pandita wenang muput upakara / yadnya :
Kalinganya kantas kreta dening jnana
Artinya:
pada hakekatnya Karma Yadnya ( upakara) itu dipimpin dan diselesaikan oleh jnana  (ilmu suci keagamaan) atau yang memiliki ilmu keagamaan.

Batas Kewenangan Pinandita

Batas Kewenangan Pinandita

Pindandita yang terdiri dari Jro Mangku, Jro Gde, Wasi, Balian Sonteng adalah tergolong sebagai tingkatan “Eka Jati”. Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu XIII tahun 1986/1987 yang mengacu kepada hasil Keputusan Mahasabha Hindu Dharma Indonesia II tanggal 02 sampai dengan 05 Desember 1968 menyatakan bahwa :

Yadnya Madiksa - Rsi Yadnya

Yadnya Madiksa - Rsi Yadnya

Kata diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya lebih lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan dwijati. Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan sebagai berikut :
Divyam Jnanam Yato Dadyat Kuryat Papasya Sanksayam Tasmat Dikseti Sa Prokta Desikais Tatva-Kovidaih
Artinya :
diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi  yang disebabkan oleh kegiatan  yang berdosa.
Kata dwijati (Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe.

Janganlah menjadi Sombong

Janganlah menjadi Sombong

Gua peteng tang mada moha kesmala
Maladi yolania mageng maha wisa
Wisata sang wruh rikanang jurangkali
Kalinganing sastra suluh nika praba
(Kekawin Ramayana Sargah 3)
Terjemahan :
Kemabukan (mada), kesombongan (moha) dan perbuatan hina (kesmala) seperti gua yang gelap atau ular besar yang berbisa (berbahaya), karena itu bagi orang bijaksana dapat menyadari itu sebagai jurang yang terjal dan hendaknya ilmu pengetahuan suci (sastra) patut dipakai sebagai obor penerangan yang benderang.

Jadilah Manusia Setia

Jadilah Manusia Setia

Nāsti satyāt paro dharmo nānrtāt pātakam param
Triloke ca hi dharma syāt tasmāt satyam na lopayet
( Slokantara, sloka 3 (7) )
Terjemahan :
Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya), tidak ada dosa yang lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan diketiga dunia ini dan kebenaran harus tidak dilanggar

ULASAN
Mengenai kebenaran, Mahatma Gandhi pernah berkata, “kebenaran adalah hukum hidup kita”. (Gandhiji’s Ideas). 

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Eksistensi Sekte Wais̩n̩awa di Bali

Untuk dapat menyelusuri tentang keberadaan sekte Wais̩n̩awa di Bali, kita kembali pada Maharesi Markandya sebagai orang pertama yang datang ke Bali dan menyebarkan ajaran Hindu bagi orang-orang Bali. 
Cerita tentang Maharesi Markandya tersebut adalah demikian:

Ketika orang-orang Bali Mula belum beragama, mereka Cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari pandangan spiritual, mereka masih hampa. Oleh karenanya Pulau Bali ketika itu oleh Purana-purana Bali dikatakan masih kosong. Keadaan yang demikian itu berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi.

Saiwa Wisistadwaita

Saiwa Wisistadwaita

Pada abad ke-11 Masehi terdapat usaha-usaha yang dikonsentrasikan dalam menjembatani jurang yang memisahkan Saivisme dan Vaisnavaisme dengan Brahmanisme. Srikantha dan Ramanuja, adalah 2 orang sarjana besar yang mengusahakan tugas ini seperti yang ditunjukkan dalam 2 ulasan mengenai Vedanta Sutra, yaitu;
  1. Brahma-mimamsa bhasya dan
  2. Sribhasya. 
Dalam rangkaian penafsirannya tentang Pasupatadikarana, yang menurut Sankara, menyalahkan filsafat Saiwa Pasupata. Srikantha mengemukakan bahwa tak ada pertentangan antara Veda dengan Saiwagama dan keduanya sama-sama berwewenang. Keduanya telah bertindak dari sumber terakhir dari segala sesuatu, yaitu Brahman atau Para Siva, dan oleh karena itu layak untuk membicarakan Veda juga sebagai “Saiwagama”.

Sekilas tentang Dasa Aksara

Sekilas tentang Dasa Aksara

Pengembangan Kebudayaan Bali dalam sastra mempelajari semua pustaka yang mengandung berbagai ajaran ke Tuhanan dan ke Duniaan yang akan dapat memberikan kebahagiaan lahir-bathin kepada pendukungnya yaitu masyarakat Bali Khususnya.

Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA, (SARAD No.36/2003) perjalanan Agama Hindu sampai di Indonesia ternyata tidak semua langsung datang atau dibawa dari India. Agama Hindu di India sendiri menyentuh Nepal, sehingga bangunan Meru yang ada disana sama dengan yang ada di Bali. Lalu meyentuh juga Tibet, sehingga sarana genta dan petanganan mudra yang dipakai Sulinggih di Bali juga dipakai di Tibet. Kemudian menuju Asia Tenggara, Cina, sampai menyeberang ke Kalimantan Timur (Kutai). Oleh karena itu ada sarana uang kepeng atau jinah bolong, dupa dan uluntaga. Itulah berbagai jenis simbul yang kini ditemukan dan dipergunakan di Bali.

Sang Jarat Karu pesan bagi Anda untuk segera menikah

Sang Jarat Karu pesan bagi Anda untuk segera menikah


Epos Mahabharata dibagi menjadi delapan belas parwa, yang dikenal dengan Astadasaparwa. Parwa-parwa tersebut merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam bahasa Sanskerta dan juga menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli bahasa Sanskerta tersebut. Delapan belas parwa tersebut secara berurutan mulai dari: Adiparwa, Sabhapawra, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santhiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, ramaparwa, Mausalaparwa, Mahaprasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa. Delapan belas parwa tersebut, Adiparwa merupakan parwa pertama, di dalamnya mengandung berbagai cerita, salah satunya Carita Jaratkaru yang seringkali dipakai acuan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Carita Jaratkaru ini menjadi menarik, karena selain menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat Bali, teks-teks parwa (prosa) semacam ini dibaca melalui sajian phalawakya, sebuah pembacaan teks dengan irama menarik (khusus), serta diikuti oleh terjemahan memakai bahasa Bali kepara (umum). Phalawakya adalah pembacaan teks-teks dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang berbentuk parwa (prosa) disertai dengan terjemahan. Pembacaan teks parwa semacam ini telah diwarisi sejak dahulu terutama dalam aktivitas keagamaan, yaitu untuk mengiringi upacara pitra yadnya yang disebut "mamutru".

Lontar Wrespati Kalpa

Lontar Wrespati Kalpa

TENUNG PEDUKUNAN WRHASPATI KALPA
Berisi : Tenung Kumara Sidi
( mantra-mantra permulaan)
bebayuhan Oton bagi Umat Manusia
Wisada (pengobatan) bisa praktekkan sendiri

Ong Awigenan mastu nama sidem.
Nihan weraspati kalpe, ngaran anut sapte ware keramania :

Yan ana oton watek Redite, dewania sang hyang Indra, Kalania Dore kale, butania catus pati, kayunia kayu putih, manuknia siyung, wayangnia panji, lintang nia tendas marereng, panes wetunia, makuwh geringnie, puruh, langu, gerrah merapah, panes tis, lesu ngibuk, tan arep mangan, kelaran, borok, edan, ngeedo-ngedo gawenie, doyan mati manakan yan luh, yanie lanang doyan mati ngamuk, nagih caru ring sanggah kemulan, suci asoroh, bebeknia tampak taluh, apan oton panes, wnang carunin, beras limang (5) catu, arte 555, benang (5) limang tukel, taluh limang besik biyu limang ijas, nyuh limang bungkul, dadi esok, sesayut adulang, mewaste kesuma jati, nasi putih, siap putih tulus sandeh sangkur, kewase mepanggang, mapecel mice genten, mesasaur sekar putih, limang katih, katur ring kamulan, toyanie limang suan, durmenggale abesik, perayascite, pengambiyan, maruntutan peras asoroh, payuk limang bungkul, ayanie dadua, wenang berahmane sulinggih ngelukat, yantan tawurakang ageng raranie.

Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

ini sastra pitra yadnya yang merupakan Terjemahan dari Lontar Yama Tattwa

1b.
Semoga tidak mendapat rintangan. Tutur Yama Tatwa, yang memuat tentang pelaksanaan upacara kematian, dan bangunannya (bade) yang dipakai untuk orang mati. Mantra yang dipakai untuk pamlaspas bade (penyucian tempat pengusungan mayat): “Ya Tuhan dalam manifestasiMu sebagai Sang Hyang Ibu Pretiwi, Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Sastra Walikilya, Bhagawan Wiswakarma, hamba mohon restu, ada hambaMu yang mengetahui bacaan mengenai berbagai bangunan, sebagai anugrah dari Sang Hyang Rekatanah, Bagawan Sastra Walikilya, Bagawan Wiswakarma. Ih Sang Hyang Taru Agung turunlah ke dunia, dijaga oleh Sang Hyang Ibu Pretiwi, mencari Sang Hyang Akasa, di atas melanjutkan beryoga, ditebang oleh manusiaMu, yang mendapat anugrah dari Sang Hyang Rekatanah, Bagawan

Lontar Yama Tattwa

Lontar Yama Tattwa

ini merupakan lontar Pitra Yadnya.

1b
Om awighnamastu nama sidham. Puniki tutur yamma tattwa, ne munggah wwang atatiwan, wwang pejah mawawangunan. puniki pemlaspas bade, ma pukulun sang hyang ibi perthiwi, sang hyang yamma dipathi , sang hyang rekatanah, bhagawan sastra walikilya, bagawan woswakarma, ulun aminta lugraha, hana manusa nira manusa wruh angawacana salwiring wewangunan, panugrahan nira sang hyang rekatanah, bhagawan sastra walikilya, bhagawan wiswakarma, ih sang hyang taru agung metu sira ing lemah, kemban de nira sang hyang ibu pretiwi, angulati sang hyang akasa, luwur nutugang yusa, karebah dening manusa nira, panugraha nira sang hyang rekatanah , bhagawan.

Nilai Tatwa yang Terdapat di Dalam Lontar Yama Tattwa

Nilai Tatwa yang Terdapat di Dalam Lontar Yama Tattwa

Dalam ajaran agama Hindu pandangan tentang kebenaran disebut Tattwa. Kata tattwa berasal dari bahasa Sansekerta yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “kebenaran, kenyataan”. 
Lontar-lontar di Bali menyebutkan kata tattwa inilah yang dipakai untuk mengungkapkan kebenaran. Karena segi memandang kebenaran berlainan, maka benarnya sebuah kebenaran itu adalah sesuai dengan bagaimana orang memandangnya, walaupun kebenaran itu hanya ada satu.

Berdasakan uraian di atas, maka nilai tattwa yang terkandung dalam lontar Yama Tattwa adalah Upacara Ngaben secara  filosofis memiliki makna sebagai  proses  untuk  mempercepat  pengembalian  unsur-unsur Panca Maha  Bhuta ke asalnya atau ke sumbernya masing-masing. Upacara  Ngaben juga  mempunyai makna  sebagai membantu  perjalanan  Atman  menuju  Brahman.  Dengan  kembalinya  unsur-unsur Panca  Maha  Bhuta  yang  membentuk  Sthula  Sarira  maka  Atman  telah  meningkatkan  perjalanannya  dari  Bhur Loka  sampai  pada  Bhuwah  Loka.  Dalam  Bhuwah  Loka  ini  Atman  masih  berbadankan  Suksma  Sarira.  Dengan  demikian  Upacara  Ngaben  itu  adalah  upacara  penyucian  Pitara  tahap  pertama  yaitu  dengan  melepaskan  Pitara  dari  ikatan  Panca  Maha  Bhuta.

Kedudukan Wayang Sapuleger dalam Seni Pertunjukan Upacara di Bali

Kedudukan Wayang Sapuleger dalam Seni Pertunjukan Upacara di Bali

Fungsi Pertunjukan Wayang Sapuleger Dalam Ruwatan yang dalam Masyarakat Bali disebut Nyapuleger.


Mpu Dalang (puppeteer) sebagai Perantara dalam Upacara Ruwatan Dalang (puppeleer) menurut Hinzler ada tiga macam yaitu ;
  1. Dalang karena keturunan,
  2. Dalang karena permohonan desa atau lewat perantara dan
  3. Dalang karena kemauan sendiri. 
Pada umumnya jenis Dalang yang pertama dan ketiga lebih dominan dalam tradisi pedalangan di Bali. seorang Dalang adalan orang yang telah ditasbih (didiksa), sehingga berhak menyelesaikan suatu rangkaian upacara keagamaan di Bali seperti nglukat dan sebagainya oleh karena itu beliau bergelar Mpu dalang atau mangku dalang. I Made Bandem mengatakan seorang dalang sebelum boleh melaksanakan pementasan, ia diwajibkan untuk menyucikan diri baik secara lahir maupun bathin dengan cara yang disebut “mawinten”. Upacara ini dilakukan dihadapan masyarakat dan biasanya dilaksanakan di sebuah pura kahyangan tiga yang berada di desa dimana dalang itu dilahirkan (1993:172). Dalang  juga melakukan upacara “masakapan” (pernikahan) dengan wayang dan semua perlengkapannya yang dapat menumbuhkan jiwa kesatuan antara dalang dengan wayangnya ltulah sebabnya pertunjukan wayang dianggap pertunjukan “Utameng Lungguh” atau mempunyai kedudukan tertinggi/terhormat (dalam Rota,I996:57).

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Sekilas Tentang Pewayangan di Bali

Wayang kulit Sebagai sebuah karya seni klasik, termasuk karya seni yang bermutu tinggi dan hidup terus sepanjang zaman. Kata Wayang artinya “bayang-bayang atau bayangan”. Oleh karena variasi fonem awal /w/ dan /b/ seperti yang terdapat pada “Wayang dan bayangan”. Pada bahasa-bahasa nusantara kita dapati juga pada kata “wesi” dan “besi”, “wintang dan bintang” (Monograii Bali,1976:111).
Gusti Bagus Sugriwa (1971:1) mengatakan “pewayangan” asal katanya “Wayang” yang artinya sama dengan bayang-bayang, mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang mengandung pengertian perihal dan seluk-beluk wayang terutama diantaranya pertunjukan wayang yang dibuat dengan kulit sapi dipahat, ditatah, yang merupakan bentuk-bentuk khayalan, dewa-dewa, raksasa binatang pohon-pohonan dan sebagainya. Dilihat oleh penonton adalah bayangannya semua ini disebut “pewayangan”.
Wayang juga berarti :
  1. bayangan : Wayangan-bayangan,
  2. Pertunjukan Wayang ‘’mewayang’’ memainkan (Pertunjukan) wayang; Pewayangan Pe(r)wayangan atau pertunjukan wayang (Mardiwarsito,1990:670). 

Lontar Yama Tattwa sebagai pakem mendirikan bangunan wadah

Lontar Yama Tattwa sebagai pakem mendirikan bangunan wadah

dalam upacara Pitra Yadnya, kadang kala sentana menunjukan rasa bhaktinya kepada leluhur (orang tua/keluarganya) dengan membuatkan wadah/bade. berikut ini Pakem Lontar Yama Tattwa yang menceritakan tentang pakem mendirikan bangunan wadah/bade.

Dari pakem-pakem yang dijelaskan dalam lontar yama tatwa dapat dijabarkan oleh I Wayan Wirya dalam tiga bagian, yaitu bagian kaki, bagian badan dan bagian kepala, dengan bentuk pepalihan dan ragam hias yang melekat pada wadah, yaitu:
  1. pada bagian kaki terdiri atas pepalihan bacem, pepalihan bedawang,  pepalihan gunung tajak dan  pepalihan gunung gelut;
  2. bagian badan terdiri atas pepalihan padma negara, pepalihan sancak dan pepalihan taman;
  3. bagian kepala terdiri atas pepalihan padma sari,  pepalihan badadara, pepalihan rongan, dan  pepalihan tumpang/atap.

Tri Kaya Parisudha

Tri Kaya Parisudha sebagai landasan pendidikan

Tri Kaya Parisudha berasal dari kata:
  • “Tri” yang berarti tiga, 
  • “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan, dan 
  • “Parisudha” yang berarti baik, bersih, suci atau disucikan. 
Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku manusia berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan. Pikiran, perkataan, dan perbuatan yang disucikan dimaksudkan perilaku manusia yang baik atau perilaku manusia itu tidak boleh dikotori dengan perilaku yang tidak baik. Ketiga perilaku yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik harus selalu dijadikan pedoman khususnya bagi umat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan sesamanya, dan munusia dengan maha pencipta.

Upacara Melaspas

Upacara Melaspas

Melaspas wajib dilakukan bagi keluarga Hindu yang telah selesai mendirikan rumah tinggalnya. Selain rumah tinggal upacara melaspas juga dilakukan terhadap bangunan lain seperti bangunan suci(pura,merajan dll) hotel, kantor, toko bahkan kandang. Upacara melaspas bertujuan untuk membersihkan dan menyucikan bangunan secara niskala sebelum digunakan atau ditempati. Melaspas dalam bahasa Bali memiliki arti Mlas artinya Pisah dan Pas artinyany Cocok, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang berbeda ada kayu ada pula tanah(bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak(cocok) untuk ditempati.

Upacara Melaspas wajib dilakukan Umat Hindu di Bali dan telah menjadi tradisi hingga kini, Melaspas dilakukan bertujuan untuk terciptanya ketenangan dan kedamaian bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut terhindar dari hal-hal yang tidak diiginkan.

Tingkatan upacara melaspas, seperti halnya upacara-upacara lainnya yaitu:
  • Kanista, upacara yang dilakukan paling sederhana
  • Madya, Upacara yang dilakukan tergolong sedang.
  • Utama, Upacara yang dilakukan tergolong besar.

Geguritan Ala Ayuning Dewasa

Geguritan Ala Ayuning Dewasa

berikut ini kumpulan pupuh Sinom, geguritan yang menceritakan WARIGA ala ayuning dewasa;
Ada kidung geguritan, tembang sinom dasar gendin, mangapus tatwa carita, pongah juari nguritin, mapi-mapi ngaku ririh, tuara nawang pasuduk, anggah-unguhing wariga, kebatek demen nulis, yan tan manut, ampurayang iwang titian.
Ban manahe lintang sarat, mapawuruk midabdabin, mapitutur ban matembang, apang aluh melajahin, ngapalang sambil magending, prade sida saking halus, awinan mamanah nyurat, ngulati sane kaapti, sida lantur, asing lampah nemu melah.
Ene ada tutur tattwa, magelar baan gending, blibagang rikala senggang, apang eling tatas uning, paindikan dina becik, di wariga ada mungguh, nuturang saanan lampah, ane patut kamarginin, sida anut, sapari polah majalan.

Geguritan Atma Prasangsa

Geguritan Atma Prasangsa

Pupuh Durma

Gung ampura atur titiang ring pamiarsa, antuk tambet titiang puniki, astu tan ke cakra bawa, wantah mawosan sanghyang atma, sasidan titiang ngaturin, inggih punggelang, sane mangkin kekawitin.

Kewajiban Istri - Grahasta Asrama

Kewajiban Istri - Grahasta Asrama

Dalam Grahasta Asrama, selain tugas dan kewajiban suami, kewajiban istri juga tidak kalah pentingnya. dalam sastra hindu disebutkan beberapa tugas penting perempuan selaku seorang istri, diantaranya:

Tugas dan kewajiban Istri


Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava, nanandari samraajni bhava, samraajni adhi devrsu (Rgveda X.85.46)
“Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya, dampingilah (dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik) saudara saudari iparmu”.

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

Kewajiban Suami - Grahasta Asrama

salah satu bagian dari Catur Asramaadalah masa Grahasta, yang sering disebut dengan masa berkeluarga. langkah awal dalam membangun keluarga adalah kawin (baca: "Pernikahan menurut Pandangan Hindu"). Selain sebagai ikatan/jalinan pengabdian yang tulus ikhlas antara seorang ayah kepada ibu dan anak, dalam keluarga juga terdapat kewajiban atau swadarma untuk melakukan panca yadna (Weda Smrti III 67.71), itu lima pengabdian yang ikhlas, suci, nirmala antara lain:
  1. Kepada Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya (dewa yadnya)
  2. Kepada orang suci (Rsi Yadnya)
  3. Kepada orang tua, leluhur/guru rupaka (Pitra Yadna).
  4. Kepada sesama manusia (Manusa Yadnya).
  5. Kepada Alam semesta (Bhuta yadnya).
Selain kewajiban panca yadnya tersebut diatas, setiap unsur dalam keluarga Hindu memiliki kewajiban masing-masing antara lain:

Merdeka Menurut Hindu

Merdeka Menurut Hindu

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kemerdekaan adalah sebuah kebebasan, tidak ada penindasan dari bangsa lain, tidak berada dibawah kekuasaan bangsa lain dan tidak ada campur tangan bangsa lain. Kini kemerdekaan memiliki arti yang lebih luas mencangkup segala aspek kehidupan; politik, sosial, hukum dan budaya. Mari kita mencoba merenungkan apakah bangsa indonesia telah merdeka jika kita melihat masih banyaknya orang-orang dinegeri ini yang bicara soal Ras. 
Bagaimana dengan kebebasan setiap pemeluk agama untuk melakukan ibadahnya membangun tempat ibadahnya?
Apakah sudah merasa nyaman dan aman?
Lalu bagaimana soal pendidikan, aspek hukum dan perekonomian apakah bangsa indonesia telah merdeka untuk semua itu? 
Kemerdekaan dari tahun ke tahun masih belum terlihat adanya kemerdekaan secara individual dan sosial di bangsa ini.

Sekilas tentang Desa Adat Beluangan Perean Kangin, Kecamatan Baturiti Tabanan

Sekilas tentang Desa Adat Beluangan Perean Kangin, Kecamatan Baturiti Tabanan

Kata “BELUANGAN” bagi warga masyarakat Banjar Adat Beluangan belum ada persamaan pengertian mengenai asal mula dari kata tersebut. Asal mula kata ini begitu penting diketahui karena ada kemungkinan memiliki nilai-nilai sejarah dan makna spiritual yang sangat berguna bagi kita generasi penerus Banjar Adat Beluangan.

Karena sampai saat ini tidak ada atau belum ditemukan buku-buku atau lontar-lontar yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan “ BELUANGAN”, disini penulis mencoba berusdaha mengungkap dari sudut pandang lain mengenai asal kata “BELUANGAN”. Mudah-mudahan bisa memberi tambahan wawasan bagi warga semua, untuk nantinya bisa ikut bersama-sama mengungkap kebenaran yang terkandung atau menyertai kata tersebut, sehingga dijadikan nama sebuah banjar oleh nenek moyang kita, dimana di tempat ini kita terlahir dan di tempat ini kita pula akan menutup mata dan menghembuskan napas untuk menghadap kepada kebenaran yang tertinggi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Percaya dengan adanya MOKSA - Panca Sradha

Percaya dengan adanya MOKSA - Panca Sradha

pokok Keimanan Hindu Bali "Panca Sradha" yang kelima adalah percaya akan adanya Moksa. Kata moksa berasal dari kata "maha sha" yang berarti keinginan, keterikatan dan bebas tak terikat. Mereka dapat dicapai semasih hidup dan sesudah mati. Semasih hidup bila seorang bhakta bersikap tidak terikat lagi atau terbebas dari ikatan objek duniawi, maka ia telah merupakan Jiwan Mukti atau Moksa semasih hidup didunia ini. Orang seperti itu telah menganggap sama antara kehidupan dan kemudian kebahagiaan dan kesedihan, musuh dan teman, panas dan dingin. Kamoksaan, asal kata moksa berasal dari bahasa sansekerta, adalah mencapai tujuan tertinggi, kebahagiaan di dunia nyata dan tidak nyata, sekala dan niskala yakni manunggalnya Atman dengan Brahman. 

Hal mana sesuai dengan tujuan Agama Hindu “Moksartham Jagadhita Yaca Iti Dharma”. Artinya tujuan Agama Hindu adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat atau kebahagiaan lahir dan bathin. Hal ini dapat kita ibaratkan dengan seekor laba-laba yang berada di dalam jaringnya dan kemudian jaringnya masuk dan keluar dari laba-laba sendiri. Di dalam buku lontar kamoksan, kajian teks dan terjemahan (Bab II hal.3) di tegaskan bahwa Moksa artinya pembebasan atau pelepasan terakhir. Jagat hita artinya kesejahteraan dunia. Lontar Kamoksan menawarkan cara-cara untuk mencapai tujuan hidup tersebut yang di namakan Aji. Aji menurut artinya formula yang sangat suci, kuat,sebagaimana di maklumibahwa kamoksan atau keepasan mengajarkan bagaimana Atma dari tubuh manusia dapat manunggal dengan Paramaatman.

Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah:
  1. pengaruh panca indria,
  2. pikiran yang sempit,
  3. ke-akuan,
  4. ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman,
  5. cinta kasih selain kepada Hyang Widhi,
  6. rasa benci,
  7. keinginan,
  8. kegembiraan,
  9. kesedihan,
  10. kekhawatiran/ketakutan, dan
  11. khayalan.

Apa itu PURANA?

Apa itu PURANA?

Seorang guru pasraman menceritakan kepada saya, ia pernah ditanya oleh seorang murid SMP, perihal kisah Dewa Siwa, ketika sangat bernafsu untuk berhubungan dengan istrinya Dewi Parwati, (maaf) kamanya (air maninya) keluar dengan sendirinya lalu jatuh ke laut, dimakan oleh ikan, dan ikan itu melahirkan seorang anak manusia/kera. Saya sering mendengar kisah ini ketika kecil waktu menonton wayang di desa. Cara ki dalang menggambarkan bagaimana kama itu keluar, melayang dan jatuh ke laut, membuat semua penonton tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi cerita yang sama sekarang menimbulkan pertanyaan moral dalam benak seorang siswa SMP: 
mengapa seorang Dewa tidak mampu mengendalikan nafsu? 
Guru pasraman ini tidak tahu jawabannya. Belum lagi soal air mani dimakan ikan dan ikan hamil lalu melahirkan mahluk lain, manusia/kera. Itu semua fiksi belaka.

Apakah Purana?
Purana berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “kuno” (ancient), adalah kelompok teks Sanskrit yang mengandung kisah-kisah mitologi di jaman kuno. Purana dianggap smerti atau bukan kitab suci Hindu Weda (non-vedic Hindu Scripture). Purana menjelaskan teks-teks Weda untuk mereka yang dianggap memiliki pengetahuan lebih rendah. Belakangan Purana-Purana dikaitkan dengan Tri Murti, dan pada jaman pertengahan dengan pemujaan bhakti Vishnu dan Siva. Materi Weda lebih awal disusun kembali untuk melayani kepentingan sectarian, dan materi sebelumnya mengenai pengobatan, astrologi, kronologi, geografi, taktik militer dan tata bahasa digabungkan ke dalam teks bhakti yang popular ini. Purana dibagi dua kategori: Mahapurana (mayor) dan Upapurana (minor). Masing-masing kategori memiliki delapan belas anggota. Purana menekankan bhakti dan manifestasi ajaib dari kemuliaan Tuhan. Banyak para pemimpin reformasi Hindu, seperti Swami Dayananda Saraswati menyerang religiusitas Purana, namun ia tetap merupakan bentuk dominan dari agama Hindu.

Upacara Ngaben - Pitra Yadnya

Upacara Ngaben - Pitra Yadnya

ini merupakan ringkasan dari buku: "Mengapa Mayat Dibakar" karangan I Gusti Ketut Kaler, Yayasan Dharma Naradha, 1993
Ngaben berasal dari kata abu > abuan > abon > ngabon > ngaben
Meninggal sebelum kepus pusar
belum terhitung mahluk buana agung (dunia ) ini, dinilai sejajar dengan dewa. Upacara yang dibuat di rumah saat meninggal ditujukan untuk menyucikan ibu dan sang catur sanak juga pihak lain yang membantu atau ikut ambil bagian  saat bayi dilahirkan.

Sesudah kepus pungsed
upakara yang dibuat saat bayi meninggal untuk ngeluhurang Bhatara Kumara, juga mengembalika sang catur sanak dan juga upakara pemarida kecuntakan.
Usia 105 hari s/d sebelum gigi tanggal, hanya sawa anak telah berusia lebih dari 5 bulan boleh atau sebaiknya dibakar. Abunya dimasukkan dalam klungah nyuh gading. Yang berumur dibawahnya, diberi tirta pengentas baru dikubur. Abu di klungah nyuh gading disuguhkan sesaji sederhana, kemudian dihanyut ke sungai atau ke laut. Sebelum tirta pengentas tadi perlu juga dimohonkan tirta dari pemerajan, Kahyangan Tiga, Prajapati dan beberapa pura lainnya. Pada umur ini tidak perlu dilanjutkan  pada upacara atma wedana (memukur)

Sanggah Tutuan dan Sanggah Arda Candra

Sanggah Tutuan dan Sanggah Arda Candra

Sanggah tutuan

SANGGAH TUTUAN

Sanggah Tutuan terbuat dari bambu yang berbentuk segi empat sama sisi dan biasanya memakai atap kelabang atau ijuk, dan pada sumbu atas dibentuk simpul yang menyerupai kerucut seperti rambut pendeta. Sanggah ini bertangkai dua sebagai kakinya yang tertancap ke tanah, sedangkan bagian atasnya masing-masing beercabang dua menyangga keempat sudut sanggah.

Pajeng Kober Umbul-umbul dan Lelontekan

Pajeng Kober Lelontekan

Pajeng kober dan lelontekan

KOBER (Bendera)

Bendera atau kober ini tidak sama dengan bendera biasa melainkan pada ujung bendera ini berisi tombak dan berisi gambar Anoman yang disebut Sang Marutsuta. Bendera ini merupakan simbul angin sebagai pelindung dan berada pada urutan ke empat setelah umbul-umbul kalau diidentifikasikan dengan sastra maka, sastranya " Mangkara."

Klakat atau Pancak

Klakat atau Pancak

Klakat (Kelakat) terbuat dari bambu, dianyam sedemikian rupa berbentuk segi empat bujur sangkar dengan ukuran bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan upacara. Pada kelakat memiliki lubang-lubang segi empat dengan aturan lubangnya pada sisi yang satu berjumlah lima lubang dan sisi yang lain lima lubang juga, sehingga jumlah lubang semua dua puluh lima lubang.

Disebut pancak berasal dari kata panca atau lima, karena memiliki lubang setiap sisi adalah lima, dan kata panca disini mengandung makna sebagai simbul kekuatan Panca Maha Bhuta. Karena kekuatan Panca Maha Bhuta merupakan kekuatan prakerti (acetana ) sebagai salah satu kekuatan pendorong dari pesembahan atau korban suci kehadapan Sang Hyang Widhi, karena Sang Hyang Widhi adalah merupakan kekuatan purusa ( cetana ), dengan kata lain mempercepat proses penyatuan antara Sang Pencipta dengan mahluk ciptaan-Nya. Pancak dipakai sebagai alas suatu upacara.
Contoh : sebagai alas upakara caru, upakara saji, dll

Uparengga ORTI

Uparengga ORTI
Orti dibuat dari daun rontal tua, dibentuk sedemikian rupa yang terdiri dari beberapa bagian :
  1. Orti Bagia
  2. Orti Pulu
  3. Orti Kerang Melok
  4. Orti Beringin

Orti Bagia, orti  ini dibentuk dan disusun dari sebuah tangkai bambu yang panjangnya kira-kira 10cm dari ujungnya dibuat silang, dan antara ujung silang dihubungkan dengan benang berwarna empat warna yaitu warna putih, merah, hitam dan kuning. Pada ujung-ujung silang benang tersebut disatukan pada ujung tangkai orti tadi seolah-olah bersumbu keatas. Diatas silang ditusukkan anyaman berbentuk burung dan yang paling atas ditusukkan cili (simbul muka) digantungkan uang kepeng bolong sebanyak 7, 9 atau 11 kepeng sesuai dengan status bangunan suci yang akan dipelaspas.

Jenis ulatan kelabang

Jenis ulatan kelabang

setiap melakukan upacara, pastilah krama bali melihat jenis anyaman ini, yang terbuat dari daun kelapa. umumnya anyaman ini sering disebut dengan Kelabang.

Kelabang adalah sebuah anyaman dari daun kelapa tua yang pelepahnya masih utuh, sehingga kelihatan seperti sebidang dinding.

Makanya dan fungsi kelabang kurang lebih sebagai berikut : Kelabang berasal dari dua suku kata yaitu kala dan abang, dimana suku kata kala dapat diartikan suatu kekuatan Sang Hyang Widhi yang bermutu Asuri Sampad (keraksasaan).

Dengan adanya kekuatan kala, akan menimbulkan kesidian, karena kala tersebut adalah merupakan manifestasi dari Tri Guna ( Rajasika ) sehingga hal tersebut akan menjadi kekuatan gaib tertentu.

apa itu Uparengga?

apa itu Uparengga?

Pemahaman masyarakat tentang uparangga atau sarana upacara umat Hindu masih bersifat individual. Kami berusaha menganggkat tentang sarana upacara Umat Hindu agar perangkat-perangkat tersebut dapat dipahami generasi muda sebagai generasi penerus sehingga kelestariannya dapat berlanjut dari generasi ke generasi.

Dapat kami berikan makna dan pengertian uparangga sebagai berikut :
Uparengga berasal dari suku kata upa-re-angga, mengandung pengertian bahwa:
  • UPA = perantara, 
  • RE = raditya (sinar suci), dan 
  • ANGGA = wujud atau merupakan perwujudan Ida Sanghyang Widhi.
Jadi uparengga adalah semua bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sanghyang Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya.
beberapa macam uparangga:
selain itu, Uparengga lainnya adalah:

LINGGA YONI

Lingga Yoni dibuat dari daun rontal yang tua dibentuk sedemikian rupa sampai berbentuk linggayoni. Pada ujung lingga dihias dengan daun beringin yang ditusuk dan diletakkan pada ruang bangunan suci yang akan diplaspas.
Lingga Yoni mengandung makna dan maksud telah manunggalnya kekuatan prakerti dan purusha Sanghyang Widhi dan bermanifestasi menjadi Dewa, Bathara sesuai dengan fungsinya.

SEBATANG TEBU

Perangkat upacara ini merupakan simbul kekuatan Sang Hyang Panca Kosika, yang berfungsi sebagai penetralisir dari kekuatan yang bersifat adharma. Tebu batangan ini biasanya dipergunakan pada waktu ada upacara piodalan di pura-pura, pada saat melasti ke segara. Tebu dibawa pada barisan depan. Tebu batangan juga dipergunakan pada saat runtutan upacara perkawinan yaitu dalam upacara mulih ngalang atau pewarangan.

Mudah-mudahan apa yang berusaha kami paparkan dan informasikan bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan agama. 

Kami menyadari penulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangan, semoga dengan pandangan-pandangan umat sedarma kami dapat menyempurnakannya lagi.